tag:blogger.com,1999:blog-6654581004668524702024-03-23T03:42:09.080-07:00Pemanasan globaljhonsonblogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/15344328025680029393noreply@blogger.comBlogger106125tag:blogger.com,1999:blog-665458100466852470.post-77009340421298492372013-11-15T08:12:00.002-08:002013-11-15T08:25:09.884-08:00Pemanasan Global Ancam Hewan-hewan Ini<div class="intro" style="-webkit-font-smoothing: antialiased; background-color: white; font-family: Georgia, Times, serif; font-size: 17px; line-height: 25px; padding: 0px 40px 12px 0px;">
<br />
<span style="color: #666666; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;"><strong>TEMPO.CO</strong></span><span style="color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">, </span><span style="color: #666666; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;"><strong>Iowa</strong></span><span style="color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;"> - </span><span style="color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">Pemanasan global mengancam kelangsungan hidup sejumlah hewan. Richard Shine, seorang ahli biologi evolusi di University of Sydney, Australia, mengatakan ada beberapa kelompok hewan yang jenis kelamin anakannya sangat dipengaruhi oleh perubahan suhu.</span><br style="color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><br style="color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><span style="color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">"Semua jenis buaya, sebagian kura-kura dan kadal, serta beberapa ikan terpengaruh," kata Shine, seperti dikutip<em>Newscientist</em>, Senin, 6 Mei 2013.</span><br style="color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><br style="color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><span style="color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">Ia menanggapi temuan tim peneliti Iowa State University, Amerika Serikat, yang menyebutkan kenaikan suhu udara rata-rata sebesar 1,1 derajat Celcius bakal mengubah kelamin anakan kura-kura berwarna (<em>Chrysemys picta</em>) menjadi seratus persen betina.</span><br style="color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><br style="color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><span style="color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">"Inilah mengapa kura-kura berwarna terancam punah," ucap Rory Telemeco, anggota tim peneliti. Telemeco meneliti bersama rekannya, Fredric Janzen.</span><br style="color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><br style="color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><span style="color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">Shine, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, mengatakan pamanasan global memang mengkhawatirkan. Bahkan, bentuk adaptasi induk kura-kura berwarna dengan cara memajukan jadwal bertelur hingga beberapa pekan lebih awal tidak akan mampu menghalangi perubahan kelamin anakan mereka.</span><br style="color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><br style="color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><span style="color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">Namun demikian, Shine optimistis <a href="http://www.tempo.co/read/news/2013/05/06/061478297/Seluruh-Anak-Kura-kura-Ini-Terancam-Jadi-Betina" style="color: #2981c4; text-decoration: none;" target="_blank">kura-kura berwarna dan spesies lainnya</a> mampu bertahan hidup menghadapi pamanasan global. "Mereka bisa beradaptasi dengan meletakkan telur di lokasi yang teduh atau mengembangkan kemampuan untuk mengatasi kondisi hangat," ujarnya.</span><br style="color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><br style="color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><span style="color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">Sebaliknya, Telemeco tidak seyakin itu. "Masalahnya, perubahan iklim terjadi sangat cepat sehingga respons evolusioner organisme tidak sempat mengikutinya," ucapnya.</span><br style="color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><br style="color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><span style="color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">Petunjuk tentang kemampuan bertahan hidup pada kura-kura berwarna mungkin dapat dipahami secara lebih baik lewat genom yang diurutkan bulan lalu. Mengamati perubahan ekspresi gen sebagai respons terhadap perubahan suhu dapat menguak misteri di balik adaptasi kura-kura berwarna dengan lingkungan mereka.</span></div>
jhonsonblogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/15344328025680029393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-665458100466852470.post-24810333767665621832013-11-15T08:04:00.001-08:002013-11-15T08:04:51.610-08:00Es Mencair, Kota di Alaska Banjir<span style="background-color: white; color: #666666; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;"><strong><br /></strong></span>
<img alt="Es Mencair, Kota di Alaska Banjir" src="http://statik.tempo.co/data/2011/12/02/id_98127/98127_620.jpg" /><br />
<span style="background-color: white; color: #666666; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;"><strong><br /></strong></span>
<span style="background-color: white; color: #666666; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;"><strong>TEMPO.CO</strong></span><span style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">, </span><span style="background-color: white; color: #666666; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;"><strong>Alaska</strong></span><span style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;"> - Bongkahan es di Sungai Yukon,</span><a href="http://www.tempo.co/read/news/2012/07/24/095418932/Hindari-Lalat-Ratusan-Ribu-Karibu-Alaska-Bermigrasi" style="background-color: white; color: #2981c4; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px; text-decoration: none;" target="_blank"> Alaska</a><span style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">, mulai mencair pada Rabu, 29 Mei 2013 dan memaksa warga untuk segera mengungsi. Pantauan udara melaporkan, bongkahan es telah patah dan tertahan di sungai sepanjang 30 mil (48 kilometer).</span><br style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><br style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><span style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">“Itu berarti es akan mencair dan membanjiri hingga kota Gelena yang terletak 20 km dari hulu dan mengancam memecah tanggul yang melindungi bandara dari banjir,” ujar Ed Plumb, dari Dinas Cuaca Nasional pada Daily Mail Kamis, 30 Mei 2013.</span><br style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><br style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><span style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">Tidak ada korban jiwa dalam musibah ini, tapi sebagian besar warga kehilangan rumah dan mereka terpaksa mengungsi. Kini, kota itu bak kota mati. Tak ada listrik, air bersih, dan jaringan komunikasi.</span><br style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><br style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><span style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">Menurut Kevin Ray, warga setempat, banjir ini bukanlah yang pertama bagi mereka. Namun, kali ini, air meningkat begitu cepat, sampai-sampai rumah panggung pun turut kebanjiran.</span><br style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><br style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><span style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">Bencana ini meninggalkan trauma yang mendalam. Kini, pemerintah setempat akan mengeluarkan status darurat bencana dan akan membangun kembali kota mati itu.</span><br style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><br style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><span style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">Bencana ini seolah menjadi teguran bagi manusia. Pemanasan global yang tak terbendung lagi memaksa es-es mencair dan membanjiri rumah warga. Es sepanjang 48 kilometer saja telah mampu menimbulkan bencana yang besar. Lantas, bagaimana jika es-es di kedua kutub mencair semua? Tentu tak ada yang bisa membayangkan kedahsyatannya.</span>jhonsonblogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/15344328025680029393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-665458100466852470.post-68246069841688370482013-11-15T07:59:00.001-08:002013-11-15T07:59:11.665-08:00Kurangi Gas Rumah Kaca Tekan Kematian Prematur<span style="background-color: white; color: #666666; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;"><strong><br /></strong></span>
<span style="background-color: white; color: #666666; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;"><strong><br /></strong></span>
<span style="background-color: white; color: #666666; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;"><strong>TEMPO.CO</strong></span><span style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">, </span><span style="background-color: white; color: #666666; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;"><strong>Jakarta</strong></span><span style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">--Penggunaan bahan bakar minyak dikenal sebagai penyumbang terbesar pencemaran udara, membahayakan kesehatan dan memicu efek gas rumah kaca yang menyebabkan naiknya suhu permukaan bumi. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa jika jumlah gas rumah kaca berhasil diturunkan maka itu bisa mencegah sekitar tiga juta kematian prematur.</span><br style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><br style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><span style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">Gas yang menyebabkan efek rumah kaca, seperti karbon dioksida, menahan panas di permukaan bumi yang menyebabkan temperatur naik. Pemanasan global yang terjadi saat ini adalah imbas dari naiknya level karbon dioksida akibat penggunaan bahan bakar fosil secara masif sejak Revolusi Industri pada akhir abad 18. </span><br style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><br style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><span style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">Peneliti dari Universitas North Carolina, Jason West, menyebutkan bahwa efek polusi udara pada angka kematian tidak lagi bersifat lokal dan jangka pendek. Polutan sudah menyebar ke seluruh dunia dan menyebabkan perubahan jangka panjang pada populasi manusia, perubahan iklim dan kualitas udara. Efeknya akan semakin dahsyat jika gas rumah kaca tidak dikurangi. </span><br style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><br style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><span style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">West dan koleganya menghitung bahwa pada 2030 sekitar 300-700 ribu kematian prematur sebenarnya bisa dicegah jika gas rumah kaca dikurangi secara drastis. Dua pertiga dari jumlah kematian prematur itu ada di Cina. Pada 2050, pengurangan gas rumah kaca akan mengurangi angka kematian prematur hingga 1,8 juta jiwa. Kemudian pada 2100, sekitar tiga juta kematian prematur akibat polusi udara bisa dicegah. </span><br style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><br style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><span style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">"Mengurangi gas rumah kaca bisa menurunkan jumlah polutan udara dan punya efek signifikan dalam menyelamatkan banyak nyawa," kata West. Para peneliti memperkirakan biaya untuk mengurangi satu ton emisi karbon dioksida sekitar 50 hingga 380 dolar Amerika Serikat. West mengatakan perubahan iklim adalah masalah serius yang butuh penanganan cepat. </span><br style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><br style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><span style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">Lembaga Kerja Sama Antarpemerintah untuk Isu Perubahan Iklim akan memberikan pernyataannya tentang penelitian iklim pekan ini. Pada 2014 lembaga international itu juga akan membuat laporan tentang bagaimana perubahan iklim mempengaruhi dunia serta penanganannya.</span><br style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><br style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" /><span style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">"Sudah berulang kali aksi untuk mengatasi masalah global jangka panjang seperti perubahan iklim ini mandek. Penelitian ini menunjukkan keuntungan luar biasa dari mengurangi gas rumah kaca dan menghambat perubahan iklim," kata West. Penelitian West dan koleganya dipublikasikan dalam jurnal Nature Climate Change. </span>jhonsonblogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/15344328025680029393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-665458100466852470.post-3603011250212331032013-11-15T07:50:00.000-08:002013-11-15T08:00:15.161-08:00NASA Umumkan Pemotretan Bumi dari Saturnus<img alt="NASA Umumkan Pemotretan Bumi dari Saturnus" height="241" src="http://statik.tempo.co/data/2012/02/01/id_104283/104283_620.jpg" width="400" /><br />
<br />
<span style="background-color: white; color: #666666; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;"><strong>TEMPO.CO</strong></span><span style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">, Colorado - Pada Juli mendatang, </span><a href="http://www.tempo.co/read/news/2013/06/08/061486610/NASA-Luncurkan-Roket-untuk-Pelajara-Galaksi" style="background-color: white; color: #2981c4; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px; text-decoration: none;" target="_blank">Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) </a><span style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">akan mengambil foto </span><a href="http://www.tempo.co/read/news/2013/06/10/095487127/Bumi-Hampir-Ditubruk-Asteroid" style="background-color: white; color: #2981c4; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px; text-decoration: none;" target="_blank">bumi</a><span style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;"> dari satelit yang mengorbit di planet Saturnus. Momen ini akan dilaksanakan pada 19 Juli mendatang dan foto bumi akan diambil dengan kamera resolusi tinggi dari wahana Cassini.</span><br />
<a href="http://www.tempo.co/read/news/2012/11/29/061444805/Badai-Raksasa-Mengamuk-di-Kutub-Utara-Saturnushttp://www.tempo.co/read/news/2012/11/29/061444805/Badai-Raksasa-Mengamuk-di-Kutub-Utara-Saturnus" style="background-color: white; color: #2981c4; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px; text-decoration: none;" target="_blank"><br />Cassini telah mengorbit di sekitar planet Saturnus sejak Oktober 1997 </a><span style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">dan sebelumnya hanya berhasil menangkap potret bumi dengan kualitas gambar yang buram saat mengelilingi planet bercincin itu. Namun karena Juli mendatang bertepatan dengan gerhana matahari, kamera dari Cassini ini akan mampu mengambil foto bumi dengan jelas tanpa adanya sinar matahari yang dapat merusak detektor sensitif.</span><br />
<br style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" />
<span style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">Ini juga akan menjadi pertama kalinya NASA mengumumkan waktu pengambilan foto. Ketua tim Cassini dari Institut Science Space di Boulder, Colorado, Carolyn Porco mengatakan kesempatan ini diharapkan bisa dirasakan oleh warga bumi. “Masyarakat di seluruh dunia bisa berhenti sebentar dari aktivitas mereka saat foto bumi diambil untuk menjadi bagian dari gambar titik biru pucat planet bumi. Dan ini untuk menghargai perspektif kita dan dunia yang diperoleh dari eksplorasi antarplanet,” kata dia seperti dikutip dari DailyMail, Jumat 21 Jumat.</span><br />
<br style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" />
<span style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">NASA akan mengambil foto bumi pada 19 Juli mendatang di antara pukul 21.27 hingga 21.42 malam. Bumi akan terlihat seukuran hanya sekitar satu piksel saja dari sudut pandang Cassini yang berjarak 898 juta jauhnya. Momen ini akan memberikan kesempatan warga dunia untuk melihat bagaimana rupa rumah (planet) mereka jika dilihat dari Saturnus.</span><br />
<br style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" />
<span style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">Amerika Utara dan bagian dari Samudra Atlantik akan menunjuk ke arah Saturnus pada saat gambar diambil.</span><br />
<br style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" />
<span style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">Linda Spilker,ilmuwan proyek Cassini di Jet Propulsion Laboratory NASA di Pasadena, California mengatakan, “Kami harap Anda akan bergabung dengan kami dengan melambaikan tangan dari Bumi ke arah Saturnus, sehingga kita bisa merayakan kesempatan khusus ini,” katanya.</span><br />
<br style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" />
<span style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">Tim Cassini telah memilih 19 Juli karena akan memanfaatkan keuntungan dari gerhana matahari total yang langka terjadi dari Saturnus, sehingga saat memotret Bumi tidak terhalang oleh cincin Saturnus. Kamera sensitif pesawat ruang angkasa kemudian dapat beralih menuju Bumi tanpa mengalami kerusakan akibat sinar matahari.</span><br />
<br style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;" />
<span style="background-color: white; color: #111111; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22px;">Cassini sebelumnya pernah berhasil memotret Bumi dari Saturnus pada tahun 2006. Saturnus tampak sebagai bola dengan cincin di sekitarnya. Bumi sendiri terlihat seperti titik biru yang pucat dan terlihat diantara cincin Saturnus.</span>jhonsonblogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/15344328025680029393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-665458100466852470.post-84620666228319066642010-05-06T12:06:00.001-07:002010-05-06T12:06:52.113-07:00Hanya 5 Provinsi Punya Tata RuangHutan rusak dan hancur, bencana sering terjadi karena daerah belum memiliki tata ruang. Sampai sekarang, hanya 5 dari 33 provinsi yang sudah menyelesaikan tata ruang di daerahnya. Karena tak punya tata ruang, daerah dengan mudah memberikan izin KP. Bahkan, menjelang pilkada, izin KP semakin banyak yang dikeluarkan. <p>Untuk menyelamatkan lingkungan dari kerusakan, setiap daerah memiliki kearifan lokal, namun hal itu sudah ditinggalkan. Kalau pun masih ada kearifan lokal yang bertahan, masyarakat sering tak berdaya akibat kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada penyelamatan lingkungan. Agar kesadaran menyelamatkan lingkungan semakin membudaya kembali, materi lingkungan hidup seharusnya masuk kurikulum di semua jenjang dan tingkat pendidikan. </p><p>Demikian benang merah diskusi bertajuk Kita Peduli Bumi yang diselenggarakan Organisasi Pecinta Lingkungan Vanaprastha bekerjasama dengan Taman Nasional Gunung Gede Paranggo , di Cibodas, Jumat (23/4/2010). Tampil sebagai narasumber Menteri Negera Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta, Dewan Pertimbangan Presiden Meutia Hatta Swasono, Ketua Umum Vanaprastha Adhyaksa Dault, anggota p endiri Mapala Universitas Indonesia Herman Lantang, Wakil Kepala Taman Nasional Gunung Gede Paranggo, dan artis pecinta lingkungan Olivia Zalianty. </p><p>Gusti Muhammad Hatta mengatakan, pihaknya prihatin dengan kerusakan lingkungan yang sedemikian parah di sejumlah daerah, sehingga menyebabkan terjadinya bencana. Kerusakan dipicu karena daerah belum mempunyai tata ruang, sehingga belum jelas peruntukan lahan. </p><p>"Dari 33 provinsi baru 5 provinsi yang sudah menyelesaikan tata ruangnya. Akibat tata ruang tidak ada, daerah dengan mudahnya menyetujui suatu investasi, meski itu harus mengorbankan lingkungan. Saya curiga, saya lihat areal penggunaan lain (APL) hutannya lebat, sementara hutan lindung kurus-kurus . Di areal APL diizinkan perkebunan kepala sawit, sehingga dengan kayunya yang besar-besar investor sudah untung sebelum membangun kepala sawit. Sebaiknya APL dijadikan saja statusnya hutan lindung," ungkap Gusti. </p><p>Meneg LH itu juga mengemukakan betapa lemahnya pengawasan. Di Kalimantan Barat, lanjut Gusti, hanya 19 perusahaan yang ada izin, 42 perusahaan lain tak ada izin. Ini terjadi gara-gara bupati dapat mengeluarkan izin KP. Bahkan, menjelang pil kada, izin KP semakin banyak yang dikeluarkan. </p><p>Gusti mengungkapkan, pihaknya diminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mempelajari kembali keputusan pengadilan terkait kasus lingkungan. "Dari 90 kasus lingkungan, 42 dinyatakan bebas, lainnya dihukum ringan. Bapak Presiden minta tinjau lagi kasus-kasus yang dinyatakan bebas dan yang diberi hukuman ringan," tandasnya. </p><p>Agar kesadaran terhadap pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan, Meneg LH itu berharap masalah lingkungan masuk kurikulum di semua jenjang dan tingkat pendidikan. "Masalah lingkungan, harus masuk kurikulum di semua jenjang dan tingkat pendidikan," ujarnya. </p><p>Meutia Hatta Swasono mengatakan, masalah konservasi harus terus digaungkan. Jika tidak, bumi akan semakin rusak. Pola piker yang cenderung merusah hutan harus diluruskan. Sebab, bumi yang kita diami sekarang adalah pinja man dari generasi mendatang. </p><p>Membangun dan memelihara bumi harus kembali kepada kearifan lokal. Di beberapa daerah ada banyak kearifan lokal yang perlu kita pedomani dan kita galakkan kembali. "Kearifan lokal itu intinya bagaimana tidak mengeksploitasi hutan dan lingkungan secara berlebihan. Jika berlebihan, bumi suatu waktu juga bisa marah," katanya. </p><p>Adhyaksa Dault mengatakan, keprihatinan kita atas menguatnya panas permukaan bumi, sangatlah rasional. Dewasa ini, bencana yang terjadi di mana-mana seperti banjir, badai, kemarau, dan perubahan musim, telah membawa penderitaan hebat bagi dunia. Bila tidak dicegah, dunia akan semakin tidak aman bagi manusia karena akan terjadi konflik memperebutkan sumber-sumber kehidupan seperti air dan makanan. </p><p>"Bencana alam terjadi di Indonesia karena kita tidak pernah menyadari sungguh-sungguh tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan dan lingkungan. Jumlah areal hutan yang musnah di Indonesia bertambah dari tahun ke tahun walaupun telah dicanangkan berbagai langkah tentang pencegahan. Walaupun kita telah lama memiliki filosofi pembangunan berwawasan lingkungan," katanya.</p>jhonsonblogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/15344328025680029393noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-665458100466852470.post-14262140708091742892010-05-06T12:04:00.001-07:002010-05-06T12:04:52.300-07:00Turunkan Emisi Karbon di RumahDestia Mariana (26) tidak pernah menyangka kalau kamar dan rumahnya juga penghasil polusi gas rumah kaca yang memicu pemanasan global dan perubahan iklim. Itu baru diketahuinya ketika ia secara sukarela membeberkan aktivitas kesehariannya kepada Klinik Diet Karbon yang digelar dalam Clinic Help-Climate Justice for Earth di Taman Suropati, Minggu (25/4/2010).<div class="quote"> <div><img alt="" src="http://stat.k.kidsklik.com/data/2k10/images/quote_1.gif" width="43" height="38" /></div> <div class="font20 c_abu pd_10"> <strong>Setiap orang juga bisa berbuat untuk mengurangi emisi karbon di bumi ini.</strong> </div><div align="right"><img alt="" src="http://stat.k.kidsklik.com/data/2k10/images/quote_2.gif" width="43" height="38" /></div> </div><p>Ia menyimak dan menjawab pertanyaan Musfarayani, staf Institute for Essential Service Reform (IESR), yang mengisikan data aktivitas keseharian Destia dalam Kalkulator Jejak Karbon. ”Berapa watt lampu terbesar di rumah Anda?” tanya Musfarayani. Destia tertegun, mengingat-ingat. ”Kalau tidak salah 20 watt. Ada tujuh lampu di rumah. Menyala sekitar 16 jam per hari,” Destia menjawab dengan ragu.</p><p>Musfarayani memasukkan data itu ke dalam Kalkulator Jejak Karbon, peranti lunak di komputernya. Peranti lunak itulah yang menghitung jejak karbon, alias jumlah emisi gas rumah kaca yang diproduksi oleh suatu organisasi, produk atau individu.</p><p>Destia menuturkan, televisinya menyala sekitar tujuh jam per hari, sementara komputernya menyala sekitar tiga hingga empat jam per hari. Penanak nasi berpenghangat di rumahnya menyala 24 jam sehari, sementara kipas angin menyala satu jam per hari.</p><p>Setiap hari Destia memakai sekitar delapan lembar kertas 70 gram untuk mencatat ataupun mencetak sejumlah dokumen pribadinya. Untungnya, ia memakai ulang kertas yang sudah terpakai di salah satu sisinya sehingga jejak karbon pemakaian kertas itu berkurang.</p><p>Destia jarang membeli air mineral dalam kemasan karena ia rela repot membawa tempat minum sendiri. Ia juga pengguna angkutan massal, setiap hari ia menumpang kereta api untuk pergi dari rumahnya di Bekasi menuju kantornya di Harmoni.</p><p>”Apakah Anda selalu menghabiskan makanan di piring Anda?” Musfarayani bertanya lagi. Destia mengangguk mantap.</p><p>Namun, ada suara di belakangnya, ”Waduh, yang itu gue kena, tuh. Gue tidak pernah bisa menghabiskan makanan di piring gue,” keluh Nonik Yulianti (25), yang sedari tadi menonton penghitungan jejak karbon Destia. Musfarayani tersenyum, ”Menyisakan seperempat piring makanan itu sama dengan menghasilkan emisi 3 gram setara CO, jadi habiskan makanan di piring Anda.”</p><p>Musfarayani memasukkan semua data aktivitas Destia dalam peranti lunak Kalkulator Jejak Karbon, ”Gaya hidup Anda menghasilkan emisi karbon 16.928,56 gram setara karbon dioksida [CO],” kata Musfarayani memberitahukan Destia.</p><p>Destia tercengang. ”Saya sudah sering mendengar pemakaian kendaraan pribadi itu menimbulkan emisi gas ruang kaca. Saya agak terkejut juga ketika menyadari ternyata aktivitas saya di rumah juga menghasilkan emisi gas rumah kaca,” kata Destia seusai mengikuti penghitungan jejak karbonnya.</p><p>Musfarayani menenangkannya. ”Tenang, kami bukan meminta Anda menghentikan aktivitas sehari-hari itu. Kami hanya ingin memberi tahu agar Anda bisa merencanakan sendiri pengurangan emisi gas rumah kaca dari aktivitas Anda,” ujarnya.</p><p><strong>Membangkitkan kesadaran</strong></p><p>Musfarayani tidak sedang menghakimi orang yang dengan sukarela mau menghitung jejak karbon mereka. Musfarayani dan IESR hanya ingin membangkitkan kesadaran bahwa setiap orang adalah poluter emisi karbon. Setiap orang dalam hidupnya menghasilkan emisi yang membuat selimut rumah kaca bumi kian tebal.</p><p>”Itu berarti setiap orang juga bisa berbuat untuk mengurangi emisi karbon di bumi ini. Tidak ada patokan apakah seseorang dengan emisi karbon 20.000 gram setara CO, misalnya, akan digolongkan sebagai poluter yang parah karena berapa jejak karbon seseorang bergantung pada gaya hidup masing-masing. Yang penting, apa rencana orang itu untuk mengurangi emisi karbonnya,” kata Musfarayani.</p><p>Kalau Anda membiarkan lampu 10 watt tetap padam, Anda mengurangi emisi karbon sebanyak 0,51 gram setara CO. Daripada mengendarai motor, berjalan kaki untuk berbelanja di warung berjarak 500 meter dari rumah lebih menghemat 14,8 gram setara CO.</p><p>Mengurangi pemakaian satu lembar kertas 70 gram saja bisa menghemat 226,8 gram setara CO. Ikuti langkah Destia yang memilih membawa botol minuman sendiri ketimbang membeli air minum dalam kemasan karena pembuatan tiap botol air mineral menghasilkan emisi karbon 841,5 gram setara CO.</p><p>Lalu, berapa emisi karbon yang Anda hasilkan dalam keseharian Anda? Mudah saja, buka situs <a href="http://www.iesr-indonesia.org/">http://www.iesr-indonesia.org</a>, lalu klik ikon ”Kalkulator Jejak Karbon” di bagian kanan halaman situs itu. Hitunglah sendiri berapa jejak karbon dalam kehidupan sehari-hari dan rencanakan pengurangan emisi karbon Anda hari ini juga.</p><p>”Kalau kita mau memerhatikan, pengurangan emisi karbon di rumah kita sebenarnya adalah penghematan yang nantinya akan mengurangi biaya rutin bulanan kita. Tetapi, lebih daripada hitungan ekonomi, ternyata berhemat juga mengurangi beban pencemaran bumi atas emisi karbon,” kata Musfarayani.<strong> (ROW)</strong></p>jhonsonblogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/15344328025680029393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-665458100466852470.post-19142500814822623352010-05-06T12:02:00.001-07:002010-05-06T12:02:58.257-07:00Wow, Ilmuwan Temukan Arus 40 Kali Amazon<strong></strong>Beberapa ilmuwan menemukan arus samudra dalam yang bergerak cepat dengan volume 40 kali Sungai Amazon di dekat Kutub Selatan, yang akan membantu para peneliti memantau dampak perubahan iklim di samudra di dunia.<br /> <br />Satu tim ilmuwan Australia dan Jepang, dalam satu studi yang disiarkan di dalam jurnal <em>Nature Geoscience</em>, Minggu (25/4/2010), mendapati, arus tersebut bagian penting pola sirkulasi samudra global yang membantu memantau iklim planet.<br /> <br />Para ilmuwan sebelumnya telah mendeteksi bukti mengenai arus tersebut tapi tak memiliki data mengenai itu.<br /> <br />"Kami tidak mengetahui apakah itu adalah bagian sirkulasi penting atau tidak dan ini memperlihatkan secara jelas bahwa itu adalah bagian sirkulasi," kata seorang penulis studi tersebut, Steve Rintoul, kepada koresponden <em>Reuters </em>mengenai perubahan iklim David Fogarty.<br /> <br />Rintoul, dari Antarctic Climate and Ecosystems Cooperative Research Center di Hobart, mengatakan, itu terbukti merupakan arus samudra dalam yang paling cepat yang pernah ditemukan, dengan kecepatan rata-rata 20 sentimeter. Arus tersebut juga ditemukan membawa lebih dari 12 juta meter kubik air garam yang sangat dingin per detik dari Antartika.<br /> <br />"Pada kedalaman tiga kilometer di bawah permukaan air ini, ini adalah kecepatan paling kuat yang pernah dicatat dan kami saksikan sejauh ini. Ini benar-benar mengejutkan kami," katanya.<br /> <br />Dia mengatakan, arus itu membawa air yang kaya akan oksigen yang tenggelam jauh di Kutub Selatan ke lembah sungai samudra dalam lebih ke utara di sekitar Dataran Tinggi Kerguelen di bagian selatan Samudra Hindia lalu bercabang ke luar.<br /> <br /><strong>Sabuk pengantar global</strong><br /><br />Arus itu membentuk bagian dari jaringan kerja yang jauh lebih besar yang merentang semua samudra di dunia, dan bertindak seperti sabuk pengantar raksasa untuk membagikan panas ke seluruh dunia.<br /> <br />Samudra juga adalah tempat penyimpanan utama karbon dioksida, gas rumah kaca utama yang tersiar secara alamiah dan oleh ulah manusia, terutama dari pembakaran bahan bakar fosil.<br /> <br />Contohnya, Arus Teluk membawa air hangat ke Atlantik Utara, dan memberi Eropa utara iklim yang relatif sedang. Kegagalan arus tersebut, yang telah terjadi pada waktu lalu, akan menceburkan banyak bagian Eropa ke dalam kebekuan parah, kata para ilmuwan.<br /> <br />"Arus dalam itu bersama dengan Dataran Tinggi Kerguelen adalah bagian dari sistem arus samudra global yang disebut sirkulasi berbalik, yang menentukan seberapa banyak panas dan karbon yang dapat diisap oleh samudra," kata Rintoul.<br /> <br />Satu bagian penting sirkulasi itu adalah pembentukan sangat banyak volume air garam yang sangat dingin di beberapa daerah di sepanjang pantai Antartika yang kemudian tenggelam ke dasar dan mengalir ke lembah lain samudra.<br /> <br />Tim tersebut menggelar peralatan pengukur yang dilabuhkan ke dasar laut pada kedalaman sampai 4,5 kilometer dan mencatat kandungan garam, temperatur dan kecepataan arus selama dua tahun.<br /> <br />"Pengukuran terus-menerus yang diberikan oleh penambatan itu memungkinkan kami, untuk pertama kali, menentukan seberapa banyak air yang dibawa oleh arus dalam tersebut ke utara," kata Rintoul.<br /> <br />Dia mengatakan, masalah penting untuk meramalkan iklim ialah apakah sirkulasi berbalik akan terus bertahan pada kekuatannya saat ini atau apakah arus itu peka terhadap perubahan seperti perubahan iklim.<br /> <br />Itu berarti pengukuran peningkatan lebih lanjut mengenai kecepatan dan volume air garam yang dingin yang tercipta di sekitar Antartika.jhonsonblogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/15344328025680029393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-665458100466852470.post-44162303667436965442010-05-06T11:57:00.000-07:002010-05-06T11:59:28.844-07:0060 Earth Hour : Earth vs Global Warming<!-- .entry-meta --> <p class="dropcap-first">Tahun 2010 ini, <strong>Pemilihan Umum Dunia</strong> untuk pertama kali diadakan. Dan pilihannya antara <strong>Bumi</strong> atau <strong>Global Warming</strong>. Kita semua memiliki hak untuk memilih. Tidak peduli berapa usia, kewarganegaraan, ras atau latar belakang Anda. Ini bukan tentang dari negara mana Anda berasal, tapi dari planet mana Anda berasal. Saklar lampu adalah cara Anda untuk memilih. Pilih Bumi dengan mematikan saklar lampu selama 60 menit, dan bergabunglah dengan dunia untuk <a title="Earth Hour" href="http://www.earthhour.org/" target="_blank">Earth Hour</a>. <strong>Sabtu, 28 Maret 2010, pukul 20.30-21.30 waktu setempat</strong>.</p> <p style="text-align: center;"><object data="http://www.youtube.com/v/f2gfq2-ge5U&hl=en&fs=1&rel=0" type="application/x-shockwave-flash" width="480" height="295"><param name="allowFullScreen" value="true"><param name="allowscriptaccess" value="always"><param name="src" value="http://www.youtube.com/v/f2gfq2-ge5U&hl=en&fs=1&rel=0"><param name="allowfullscreen" value="true"></object></p> <p>Di Indonesia sendiri, kegiatan ini difokuskan di Jakarta. Namun bukan berarti di daerah lain tidak boleh berpartisipasi. Ingat, ini tentang dari planet mana Anda berasal kan? Menurut saya ini sungguh ide yang bagus. Namun kegiatan semacam ini memerlukan suatu tindakan yang berkelanjutan, bukan hanya kegiatan yang sekali bergaung setelah itu hilang begitu saja. Setidaknya event ini dapat digunakan sebagai momentum untuk kembali mengingatkan orang-orang akan <a title="dampak Global Warming" href="http://www.andaka.com/pengaruh-pemanasan-global-terhadap-kesehatan.php" target="_blank">dampak Global Warming</a>.</p> <p>Di Bali sendiri kegiatan semacam ini sudah dilakukan sejak dulu. Melalui Nyepi yang tahun ini jatuh pada tanggal 26 Maret kemarin, masyarakat Bali salah satunya diwajibkan untuk tidak menyalakan api (<em>Amati Geni</em>) yang dalam kehidupan modern diwujudkan dalam bentuk tidak menyalakan lampu. Hasilnya, pada Nyepi tahun lalu PT PLN mencatat penghematan bahan bakar solar untuk pembangkit listrik sebanyak <a title="Nyepi hemat energi Rp 3 Miliar" href="http://news.okezone.com/read/2008/03/10/1/90508/1/nyepi-hemat-energi-rp3-miliar" target="_blank">3 miliar rupiah</a>!</p> <p>Nah, ayo bergabunglah dengan dunia untuk Earth Hour. Hari ini <strong>Sabtu, 28 Maret 2010, pukul 20.30-21.30 waktu setempat</strong>. Let’s go Green!</p>jhonsonblogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/15344328025680029393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-665458100466852470.post-73868846599900300712009-09-28T06:44:00.000-07:002009-09-28T06:45:07.219-07:00Uni Eropa Sangat Kawatir Pada Negosiasi Iklim<strong>PITTSBURGH, KOMPAS.com -</strong> Uni Eropa pada menyuarakan keprihatinan mendalam tentang negosiasi perubahan iklim, memperingatkan mereka sedang menuju ke arah yang salah dengan minggu-minggu sebelum membuat atau putusnya konferensi Kopenhagen .<br /><br />Perdana Menteri Swedia Fredrik Reinfeldt, kepala Uni Eropa saat ini, datang ke kota AS Pittsburgh untuk KTT ekonomi kelompok 20-negara setelah pembicaraan tingkat atas di Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang perubahan iklim.<br /><br />"Kami berdua sangat khawatir tentang situasi," kata Reinfeldt dalam jumpa pers bersama dengan Kepala Komisi Eropa Jose Manuel Barroso.<br /><br />"Ketika datang ke perundingan, mereka sebenarnya memperlambat; mereka tidak akan ke arah yang benar," kata Reinfeldt. "Kami sangat khawatir bahwa kita perlu untuk mempercepat negosiasi."<br /><br />Sedikit lebih dari dua bulan tersisa hingga konferensi di Kopenhagen, yang dimaksudkan untuk menyetujui kerangka pengganti Protokol Kyoto, perjanjian yang mengharuskan pengurangan emisi disalahkan atas pemanasan global.<br /><br />Uni Eropa dan Jepang telah menjadi juara terkemuka Protokol Kyoto, yang tidak membuat persyaratan pada negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi karbon.<br /><br />Namun, negara-negara kaya termasuk Amerika Serikat bersatu dalam bersikeras bahwa perjanjian berikutnya juga memerlukan tindakan oleh negara-negara berkembang.<br /><br />Presiden China Hu Jintao mengatakan hari Selasa bahwa negara berkembang terbesar di dunia itu siap untuk memperlambat pertumbuhan emisi karbon sepertidi negara maju, tapi ia tidak menetapkan angka.jhonsonblogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/15344328025680029393noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-665458100466852470.post-31752901419040572882009-09-28T06:43:00.001-07:002009-09-28T06:43:59.877-07:00Es Kutub Utara Kondisinya Sangat Mengkawatirkan<strong>JAKARTA, KOMPAS.com -</strong> Rebecca Woodgate tidak mempunyai waktu untuk ngobrol sementara tim oceanografi bergerak cepat di dek kapal penelitian mereka di Bering strait, wilayah penting bagi studi dampak pemanasan global.<br /><br />Woodgate, dari Polar Science Center di University of Washington, menghadapi banyak pekerjaan dalam waktu singkat, untuk secara tepat menunjukkan lokasi bawah laut delapan alat pengumpul data di wilayah AS dan Rusia di selat tersebut.<br /><br />Ia secara elektronik mengangkat alat itu ke permukaan dan menenggelamkan alat baru yang akan ditambatkan di sana selama satu tahun.<br /><br />Itu adalah pekerjaan yang harus dilakukan secara cepat guna membaca data yang bermanfaat buat dia dan rekannya di dalam ekspedisi gabungan Rusia-AS untuk menaksir dampak perubahan iklim di perairan utara-jauh antara bekas musuh era Perang Dingin tersebut.<br /><br />Ketika seseorang yang melihatkan kegiatan itu dan berada terlalu dekat selama penggelaran di perairan yang berombak kecil di lepas pantai Siberia, ilmuwan kelahiran Inggris tersebut secara tergesa-gesa menyerahkan satu paket sepotong gigi besi dan berkata, "Ini, kerjakan sesuatu dengan ini."<br /><br />Alat penambat tersebut, yang mirip benang bola pantai, menyediakan pengukuran tepat mengenai arus, temperatur dan kandungan garam. Sebagian bahkan mencatat suara ikan paus bagi misi itu, yang disebut RUSALCA, atau Russian-American Long-term Census of the Arctic.<br /><br />RUSALCA, yang dalam bahasa daerah di Rusia adalah nama dewi laut, telah mengungkap bukti yang meningkat mengenai pemanasan dan dampaknya di tempat samudera Pasifik dan Arcktik bertemu.<br /><br />RUSALCA melakukan itu sementara menyeimbangkan sasaran dua negara dengan kepentingan yang berkembang dalam menjamin wilayah Kutub Utara mereka, yang kaya akan sumber daya, saat perairan terbuka membuat wilayah itu lebih mudah dimasuki.<br /><br />Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh U.S. National Administration dan Rusian Academy of Sciences. "Daerah itu adalah bagian penting dari teka-teki perubahan iklim," demikian laporan kantor resmi Inggris, Reuters.<br /><br />"Saya melihat Bering Strait berpotensi menjadi pemicu bagi pencairan es," kata Woodgate, sewaktu menaikkan (uploading) data dari alat penambat di kapal penelitian rusia, Professor Khromov.<br /><br />Perlunya keterangan lengkap, dari pantai Alaska sampai ujung timur Rusia, membuat kerja sama bilateral jadi pentin. Tanpa itu, "Anda berada dalam masalah," katanya.<br /><br />Woodgate termasuk di antara sebanyak 50 ilmuwan dari Amerika Serikat, Rusia dan negara lain di kapal Professor Khromov selama enam pekan pada Agustus dan September, untuk mempelajari kehidupan laut dan air di Laut Bering dan Chukchi dan di perairan Kutub Utara jauh di sebelh utara Wrangel Island di lepas pantai timur-laut Rusia.<br /><br />Sulit untuk membayangkan ketika angin dingin dan sangat kuat serta laut ganas mengombang-ambingkan kapal itu pada akhir musim panas, Air yang lebih segar dan lebih hangat yang mengalir melalui selat tersebut menuju Kutub Utara barangkali mendorong ujung es laut ke belakang.<br /><br />Pada 2007, es itu mencapai rekor yang belum pernah terjadi sebelumnya sehingga mengejutkan para ilmuwan. Musim panas tahun ini, es trsebut berkurang jadi daerah paling kecil ketiganya dalam caratan sejarah, demikian laporan U.S. National Snow and Ice Data Center.jhonsonblogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/15344328025680029393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-665458100466852470.post-60603632449486933492009-09-28T06:38:00.001-07:002009-09-28T06:38:41.061-07:00Sekjen PBB: Atasi Segera Kenaikan Temperatur Global<strong>NEW YORK, KOMPAS.com</strong> — PBB mengakhiri pertemuan tingkat tinggi satu hari mengenai perubahan iklim dan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon mendesak para pemimpin dunia agar bertindak cepat guna menjamin keberhasilan dalam konferensi mendatang PBB mengenai iklim di Copenhagen, Desember.<br /><br />"Saya berbesar hati mendengar bahwa makin banyak pemimpin siap bertindak di luar perspektif nasional guna mengikuti kepemimpinan global," kata Sekjen PBB Ban Ki-moon kepada para pemimpin dunia saat penutupan sidang tersebut.<br /><br />"Anda telah melakukan tindakan untuk tetap terlibat sampai satu persetujuan ditandatangani di Copenhagen. Dan Anda telah sepakat memberi panduan kepada para perunding Anda untuk bekerja ke arah kesepakatan yang ambisius, efektif, dan adil di Copenhagen," kata Ban.<br /><br />Hampir 100 kepala negara dan pemerintahan ikut dalam pertemuan tingkat tinggi itu, pertemuan terbesar para pemimpin dunia guna membahas perubahan iklim.<br /><br />Dengan membicarakan masalah tersebut, Sekjen berharap dapat menggerakkan keinginan politik serta momentum yang diperlukan guna mencapai satu kesepakatan ambisius dalam konferensi Copenhagen.<br /><br />Perubahan iklim adalah masalah ekonomi dan geopolitik abad ke-21. Namun Ban, yang mengunjungi wilayah Kutub Utara awal bulan ini dan menyaksikan sendiri dampak cepat perubahan iklim, menyampaikan penyesalan mengenai perundingan dan mendesak para pemimpin untuk melakukan pandangan jauh guna memenuhi kebutuhan rakyat mereka.<br /><br />Sekjen PBB tersebut membantah pendapat bahwa penanganan pemanasan global itu dilakukan dengan tebusan sangat tinggi. "Mereka keliru. Yang benar adalah sebaliknya. Kita tidak akan mampu membayar jika kita tak bertindak sekarang," kata Ban.<br /><br />Keberhasilan di Copenhagen, Denmark, akan memerlukan semua negara bekerja secara beriringan guna membatasi kenaikan temperatur global, serta mendorong kemampuan dunia untuk menangani perubahan yang terjadi melalui perubahan iklim.jhonsonblogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/15344328025680029393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-665458100466852470.post-73500428027871199552009-09-28T06:30:00.001-07:002009-09-28T06:30:40.107-07:00Stop Global Warming, G20 Sepakat Hapus Subsidi BBM BertahapPittsburgh - Negara-negara yang terhimpun dalam G20 sepakat untuk menghapus subsidi bahan bakar fosil dan penghasil karbon dioksida lainnya secara bertahap. Ini sebagai upaya untuk memerangi pemanasan global (global warming).<br /><br />Draf kesepakatan G20 menunjukkan negara-negara seperti Rusia, India, dan China akan kembali mengurangi serta menghapus anggaran yang membuat harga minyak rendah sekalipun tanpa kepastian mengenai waktu.<br /><br />G20 juga akan menjaga upaya mereka itu hingga terjadinya kesepakatan tingkat PBB mengenai perubahan iklim setelah tahun ini. Demikian salah satu hasil pertemuan G20 yang berlangsung dua hari di Pittsburgh, Amerika Serikat (AS) seperti dikutip dari reuters, Sabtu (26/9/2009). <br /><br />Untuk kepentingan penghapusan subsidi bahan bakar, para pemimpin negara G20 akan berbicara dengan menteri keuangan negara mereka masing-masing.<br /><br />Negara-negara di luar G20 juga akan diimbau untuk mengikuti langkah tersebut. Beberapa kalkulasi menunjukkan jumlah subsidi minyak di seluruh dunia mencapai US$ 300 triliun.<br /><br />Penghapusan subsidi bahan bakar diperkirakan akan mampu mengurangi afek rumah kaca 10 persen pada 2050. Hal itu berdasarkan data dari International Energy Agency and the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).<br /><br />Pernyataan G20, yang terdiri dari negara kaya dan berkembang itu, juga menyebutkan, para menteri energi dan keuangan negara anggota akan segera menyusun strategi. Hasilnya akan dilaporkan pada pertemuan G20 berikutnya.jhonsonblogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/15344328025680029393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-665458100466852470.post-21398662560818042242009-09-09T09:37:00.001-07:002009-09-09T09:37:26.288-07:00Inside Sheryl Crow's 'Stop Global Warming' Tour"There's no sleeping in the nude on the tour bus!" Crow, 45, joked to PEOPLE on the first day of her "Stop Global Warming College Tour," which kicked off Monday at Southern Methodist University in Dallas.<br /><br />Crow and <em>An Inconvenient Truth</em> producer Laurie David are touring 11 campuses to inform college students about the climate crisis and how they can help stop it. (They also have a documentary team with them filming the tour.)<br /><br />"Laurie and I just met in November, and now we're sleeping together," Crow said with a laugh. "On a bus in separate bunks!" <br /><br />On a more serious note, Crow told PEOPLE: "When I learned how serious global warming is, I wanted to do something to help. So when [Laurie] and I were talking about what we could do, well, my answer to everything is to get on the bus and take it to the people, in true troubadour fashion."<br /><br />And what is Crow doing to be eco-friendly? "I try to wash my clothes in cold water as much as I can," she said. "I turn off lights in rooms that I'm not using. I drive a hybrid. I'm getting solar panels for my house." Joking with her guitarist, Tim Smith, she added, "To save water, I'm only going to shower once a week, like I did when I was a kid – on Saturdays."<br /><br />Also, Crow's tour bus is running on eco-friendly biodiesel fuel. "We're in a bus powered by vegetable oil, so we're craving French fries the whole tour," she said.<br /><br />She began the tour by rocking SMU's packed McFarlin Auditorium, where she also urged students to join the virtual march at <a href="http://www.stopglobalwarming.org/" target="_blank">Stopglobalwarming.org</a>. "At the end of our journey, we hope to be taking a million marchers with us to Congress to let them know that we demand a change," she told audience members, who were each given an energy-efficient Philips compact fluorescent light bulb.<br /><br />At a Q&A session after the concert, students asked what they could do to help. Among the tips from Crow and David: Reuse plastic bags, inflate your tires and don't idle your car.<br /><br />But one hunky student had more pressing matters on his mind: "Are you going to be in Dallas long?" he asked. Laughing, Crow told her longtime guitarist, Tim Smith: "Can you get his number? I don't have any homework to do!"<br /><br />As the bus pulled away from the SMU campus and headed to Texas A&M in College Station, the group sat around talking about the day's events and munching on Doritos and pizza. "You would think that being on tour with a rock star that there would be a lot of drinking," David said. "Instead there's a lot of eating."jhonsonblogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/15344328025680029393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-665458100466852470.post-14878106159501211902009-09-09T09:34:00.001-07:002009-09-09T09:34:40.887-07:00Drowning states ask world to stop global warming<div class="articleBody"> <p>THE world has fallen well behind in the race to find a formula to deal with global warming in time for December's Copenhagen summit, regional leaders have warned.</p> <p>After their two-day summit in Cairns, 15 Pacific Islands Forum leaders issued a statement saying the threat was grave and a strong global agreement was vital.</p> <p>"With 122 days to go, the international community is not on track to achieve the outcome we need unless we see a renewed mandate across all participating nations," the leaders said.</p> <p>Chaired by the Prime Minister, Kevin Rudd, the forum urged all nations to redouble their efforts to secure an agreement.</p> <p>The leaders called for a program that would set the world on a path to limit the increase in global temperatures to 2 degrees or less and to cut global emissions to at least 50 per cent below 1990 levels by 2050.</p> <p>The forum nations are part of the Alliance of Small Island States, 39 nations in the Pacific, the Indian Ocean and the Caribbean that are likely to be the first - and worst - affected, by global warming.</p> <p>The alliance was set up in 1990 to provide a voice for small nations, and it says that unless the increase in temperature is kept below 1.5 degrees the result will be disastrous for millions of people on those islands.</p> <p>Grenada's representative to the United Nations and the alliance leader, Dessima Williams, told the <i>Herald</i> the impact on dozens of low-lying nations would be disastrous.</p> <p>"We are going to have more devastation of all sorts from sea level rise and hurricanes," Ms Williams said.</p> <p> "We are going to lose our jobs, our food supply.</p> <p> "The world is going to see disruption that starts from the small island states. It will be disruption of every sort, more health problems, economic dislocation and more migration."</p> <p>As well as the climate change plea, the 16 nations are to pool their experiences with energy sources including solar, wind and wave power generation, with Australia putting $25 million into the initiative.</p> <p>The forum leaders also agreed to pursue common development strategies fostered by growth in the private sector, better state services and governance and investment in infrastructure, and to get aid-donating countries and organisations to co-ordinate their programs with these strategies.</p> <p>The Pacific Island countries receive the highest amount of foreign aid in the developing world per capita, but Mr Rudd said many were not showing progress towards the Millennium goals of greater welfare by 2015 and some were regressing.</p> <p>"It is a sobering fact that across our region some 2.7 million people are living in poverty," he said.</p> <p>Governments in the Pacific were frustrated at the "spaghetti bowl" of aid programs, Mr Rudd said, with half of their officials "offshore running around in various programs being offered by dozens of competing and occasionally conflicting development assistance programs".</p> <p> He hoped China would also align its aid programs in the Pacific - put at $US208 million ($247 million) in pledges last year.</p> </div>jhonsonblogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/15344328025680029393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-665458100466852470.post-21125897195542255262009-09-09T09:25:00.001-07:002009-09-09T09:26:02.567-07:00Get Rich Quick! (And Stop Global Warming in the Process)Despite all of the rhetoric, a recently published series of studies demonstrates that the costs of reducing greenhouse gas emissions probably won’t be very harsh, and there might even be a net economic benefit to such cuts. The studies, published in a special issue of <a href="http://www.iaee.org/en/publications/journal.aspx"><em>The Energy Journal</em></a> under the umbrella of the Innovation Modeling Comparison Project, analyze various models that explore the economics of reducing carbon dioxide emissions, taking into account the effects of policies that induce technological change. You can access the entire special issue for free via the <a href="http://www.econ.cam.ac.uk/research/imcp/">University of Cambridge</a>.<br /><br />This week’s issue of <em>Nature</em> features a <a href="http://www.nature.com/nature/journal/v441/n7091/full/441264b.html">news story</a> (subscription required) that serves as a basic overview of the project and a good starting point for exploring it further:<br /><blockquote><em>Transforming the world's energy industry to stop the flood of greenhouse gases into the atmosphere might actually be quite cheap.<br /><br />Figures of tens of trillions of dollars are often cited, and used to question whether measures such as the Kyoto Protocol, which attempts to limit carbon emissions, are too expensive. But according to a suite of economic models released late last month, the costs of stabilizing carbon dioxide levels could be tiny — equivalent to setting back the growth of global GDP (gross domestic product) by less than 1% over 100 years; global GDP generally grows 2–3% each year. In some cases, the right policies for limiting carbon emissions could even create a surprising win–win situation, leading to the stabilization of greenhouse gases and an increase in global wealth.<br /><br />It is a controversial conclusion with which not everyone agrees, but which the modellers say should be food for thought for policy-makers. "If we prepare properly and acknowledge that carbon will be constrained, it will be relatively cheap," says Michael Grubb, a climate-policy expert at Imperial College London. "But only if we do the right things."…<br /><br />…The results are striking. Nine of the models predict that stabilizing carbon dioxide levels at 450 parts per million, widely seen as the most ambitious target worth discussing, would set back global GDP by less than 0.5% or so by 2100 (the other two produced figures of 2.1% and 6.2%). In each scenario, the regulation of greenhouse-gas emissions persuades the private sector to shift investment into low-carbon technologies, which then become competitive with traditional energy sources.<br /><br />In some cases, this shift in investment stimulates growth and actually boosts overall wealth. At least, that's the conclusion of two of the models — one developed at the University of Cambridge, UK, and the other at the Fondazione Eni Enrico Mattei, a centre for sustainable-development research in Italy. These models suggest that stabilization policies would give an added boost to global GDP of up to 1.7% over 100 years. They assume such climate policies will bring about side benefits, such as increased investment in new technologies.<br /></em></blockquote><br />Although the results sound convincing, I hope to go through the findings myself to get a better idea of how compelling they really are. The article in <em>Nature</em> already addresses some of the naysayers coming from an economics perspective, but I imagine that the harshest critics will be those from the industries that have fought so consistently against change and regulation (and in effect innovation). Although some models predict economic benefits to come from decreasing carbon dioxide emissions, major shifts in energy usage and production threaten the current system that has benefited the current dinosaurs so well.<br /><br />In addition to the basic findings in economics, the authors of the introductory paper to the series offer their own policy recommendations based on the project's findings. In short, they stress the necessity of both regulation from government and research-driven technology innovations from industry. An optimal strategy from a governmental perspective, then, would involve both emissions caps and policies that stimulate the desired types of research:<br /><blockquote><em>Taken as a whole, the analyses give good grounds for believing that the atmosphere </em>can be<em> stabilized (or brought close to stabilization), at or significantly below a doubling of CO<sub>2</sub>-equivalent concentrations (below 500ppm CO<sub>2</sub>) at long-term macroeconomic costs that seem relatively modest—unlikely to exceed one year’s foregone economic growth. However, this broad figure over a century hides many distributional impacts, across sectors, across countries and across generations. In particular, stabilization may require big changes in investment patterns in the short run, which would obviously provoke resistance to the implementation of effective climate policies. Whether or not the costs </em>are<em> actually small, will be a function of policy, and in particular, whether or not the policies adopted send the right signals and get the right mix of investment in R&D at one end, diffusion at the other—and of no lesser importance—all that lies between….<br /><br />…The policy implications are thus far more subtle than choosing between ‘technology led’ versus ‘cap-and-trade’ led approaches. Even with a strong role for ITC, future rounds of the Kyoto Protocol which duplicate the structure of sequential 5-year limits, without any clear and credible signals about the longer term evolution of the system, are unlikely to deliver the depth of innovation and adjustment to infrastructural investments required to minimize long-term costs. On the other hand, a purely supply-driven R&D strategy may generate ideas but not technology-based industries with the capacity to solve the problem, and with no signal at all to redirect ongoing investment and promote prior adjustment of infrastructure appropriate to a carbon constrained world. Thus both R&D, and carbon cap/pricing, appear necessary but in isolation insufficient instruments to deliver stabilization at low costs. What really matters may be combinations of these policies and all that lies between—together with the critical role of framing expectations that really influence the scale and direction of corporate investment in low-carbon knowledge, in learning-by-doing in the nascent technologies and industries, and in the infrastructure appropriate to low-carbon economies.<br /></em></blockquote><br />The idea that curbing greenhouse gas emissions won’t be disastrous for the economy isn’t a new one, and I’ve even <a href="http://scientificactivist.blogspot.com/2006/01/their-hearts-might-be-in-wrong-place.html">written about it before</a>. Still, it is important in these types of discussions not to lose site of the big picture. The most immediate goal needs to be halting global warming, by reducing carbon dioxide emissions, something that will require action that is both decisive and soon. If the economy benefits, that’s an added bonus, but if climate change is allowed to spin out of control, these matters of money will begin to appear increasingly trivial.jhonsonblogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/15344328025680029393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-665458100466852470.post-86352673032416058842009-09-09T09:20:00.000-07:002009-09-09T09:21:27.653-07:0021 Solutions to Save the World: 450 Ways to Stop Global Warming<div class="body"><p>The most important number on Earth is almost certainly 450. And just as certainly, it’s not a number that means much to most policymakers. Not yet, anyway. </p> <p>Everyone without a severe ideological kink knows by now that global warming is a looming problem. Even in the United States, two decades of energy industry disinformation is finally wearing off: Hurricane Katrina and Hurricane Gore have finally blown most doubt away. But many fewer people realize either the real magnitude of the problem or the speed with which it may be bearing down on us. </p> <p>Here’s the short course. Before the Industrial Revolution, the atmospheric concentration of carbon dioxide was roughly 280 parts per million. CO2, by virtue of its molecular structure, regulates how much of the sun’s energy stays trapped in our narrow envelope of atmosphere—Mars, which has very little, is cold; Venus, with a lot, is hellish. We were in a sweet spot, where human civilization developed and thrived. But as we burned coal, gas, and oil, the extra carbon dioxide that combustion produced began to accumulate in the atmosphere. By the late 1950s, when people first started to measure it, atmospheric concentrations were already above 315 parts per million. Now, that number has reached 380 parts per million, and its rise has accelerated: In recent years, we’ve been adding about 2 parts per million annually to the atmosphere. And, predictably, the temperature has begun to rise. </p> <p>Twenty years ago, when global warming first came to public consciousness, no one knew precisely how much carbon dioxide was too much. The early computer climate models made a number of predictions about what would happen if we doubled the amount of CO2 in the atmosphere to 550 parts per million. But, in recent years, as the science has gotten more robust, scientists have tended to put the red line right...</p></div>jhonsonblogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/15344328025680029393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-665458100466852470.post-37232745060734500142009-08-22T22:57:00.001-07:002009-08-22T22:57:37.568-07:00Dari Rumah Menahan Pemanasan Global<strong>KOMPAS.</strong> Denmark adalah negeri dengan penduduk paling bahagia di dunia. Awal Juni empat wartawan Indonesia diundang untuk melihat dari dekat bagaimana Pemerintah Denmark memberikan pelayanan prima kepada warganya, termasuk isu lingkungan. <p>Di Denmark juga ada pernyataan: Bersatu Kita Tegak Mengalahkan Tantangan Iklim (United We Stand in Tackling the Climate Challenge). Mirip slogan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono? Memang. Namun, dalam praktiknya sungguh berbeda. Di Denmark, kebijakan menahan laju pemanasan global dilakukan hingga tingkat grass root, tingkat rumahan.</p> <p>Lebih dari separuh emisi karbon Denmark berasal dari konsumsi pribadi untuk pemanas, listrik, transportasi, dan barang- barang konsumsi. Warga Denmark pada umumnya sadar dan tahu akan pemanasan global, perubahan iklim, dan perlunya penghematan energi. Namun tidak semua menerapkannya dalam hidup kesehariannya. Kampanye lalu dilakukan oleh Kementerian Lingkungan dan Kementerian Transportasi dan Energi secara nasional. Akhirnya sekitar dua tahun lalu muncul ide yang sungguh pintar dan luar biasa dengan membentuk Kementerian Iklim dan Energi—dua kubu yang biasanya bertegangan tinggi soal lingkungan dan emisi karbon!</p> <p>Kampanye yang dilakukan berisi hal keseharian yang menyentuh langsung kegiatan kehidupan sehari-hari, yang dengan itu warga juga dapat langsung menghitungnya dalam bentuk berapa pengeluaran dan berapa besar investasi jangka panjang yang menyertainya jika mereka mengurangi emisi karbon. Mengurangi emisi karbon lantas menjadi topik keseharian di ”warung kopi”.</p> <p>Contoh yang amat nyata adalah ketika Pemerintah Denmark mengeluarkan peraturan tentang aturan membuat rumah, semacam syarat-syarat izin mendirikan bangunan (IMB) di Jakarta. Agar semua bergerak ke arah yang dikehendaki—hanya jika pemerintah benar-benar menghendaki(!)—maka harus keluar peraturan yang ditegakkan, bukan hanya dituliskan yang proses pembuatannya pun mahal. Maka, keluarlah peraturan tentang Kode Etik Bangunan.</p> <p>”Rakyat tidak akan bisa melihat apa keuntungan dari efisiensi energi. Pemerintah yang bisa. Harus mulai dari pemerintah, jadi masyarakat lalu tahu, dan kemudian semua baru bisa berjalan. Tidak bisa diserahkan ke publik begitu saja,” ujar Konselor Menteri pada Kementerian Luar Negeri Denmark Claus Hermansen dalam perjumpaan dengan sejumlah wartawan Indonesia awal Juni lalu.</p> <p>Prinsip pertama yang diterapkan yaitu prinsip hukuman dan ganjaran (stick and carrot) menyangkut penggunaan energi. Mereka yang boros energi dikenai biaya tinggi dan sebaliknya mereka yang menggunakan energi dengan amat efisien mendapatkan insentif.</p> <p>”Kami menerapkan pajak energi yang amat tinggi. Kalau energi tidak ada harganya, orang tak akan menghargainya. Mereka akan membuangnya begitu saja dari jendela,” ujar Hermansen mengibaratkan. Dengan cara itu, orang mulai selalu ingat untuk mematikan lampu, memasang AC di suhu sedang sekitar 25° celsius, dan dengan itu mereka bisa menghemat pengeluaran secara signifikan,” ujarnya. Sebagai contoh, harga listrik di Denmark untuk 1 kilowatt jam (kWh) yaitu 250 krone atau sekitar Rp 450.000.</p> <p>Dengan Kode Etik Bangunan yang baru, pemerintah menargetkan pengurangan penggunaan energi—dikonversi ke minyak bumi—hingga 25 persen-30 persen ketimbang tahun 2006. Bangunan yang ada rata-rata butuh 14 liter minyak per meter persegi (lt/m2). Tahun 2006 penggunaan energi untuk rumah setara 5,5 lt/m2 Target tahun 2010 adalah 3 lt/m2. ”Setelah tahun 2010 peraturan akan kami perketat,” tutur Hermansen. Peraturan itu bersifat wajib. Berangsur semua bangunan harus memiliki sertifikat ”rumah hijau” atau bangunan ”hijau”. Sertifikat diterbitkan oleh Danish Energy Authority.</p> <p>Bangunan yang bersertifikat dengan berbagai tingkatan harganya memang lebih tinggi daripada bangunan tua yang tidak mengikuti kaidah-kaidah efisiensi energi. Namun, biaya operasionalnya lebih rendah. Tujuan akhirnya, tegas Hermansen adalah, ”Rumah pasif (passive house) yaitu rumah yang tidak menggunakan bahan bakar fosil, rumah tanpa emisi gas rumah kaca (GRK). Suatu saat di masa depan nanti. Kami belum tetapkan kapan.”</p> <p>Rumah hijau Charlotte</p> <p>Menyusul kode etik tersebut, pemerintah menunjuk perumahan di daerah Stenløse, kira-kira 30 menit dari Kopenhagen, ibu kota Denmark, untuk menerapkan kaidah-kaidah rumah hijau. Di antaranya yaitu rumah kediaman keluarga Peter Hans Jensen-Charlotte Hjelm. Keluarga muda ini membangun rumah pertamanya sesuai dengan arahan pemerintah. Pasangan ini didampingi penasihat teknis dari pemerintah setempat. Mereka, Mona Dates dan Jens Lemche, mendampingi kami saat mengunjungi rumah Charlotte.</p> <p>Keluarga dengan dua anak ini memasang insulasi yang menjadi bagian penting dari sebuah rumah dengan efisiensi energi. Insulasi berfungsi menyerap udara panas dan udara dingin dari luar sehingga suhu di dalam rumah tidak terlalu panas atau dingin. ”Kami tidak membutuhkan banyak gas untuk memanaskan rumah,” tutur Charlotte. Gas pemanas rumah pada bangunan baru telah ditanam sebagai instalasi di bawah rumah sehingga tak ada lagi batang-batang besi di dalam rumah.</p> <p>Selain itu, penempatan jendela dengan kaca besar-besar juga menyebabkan penggunaan listrik bisa ditekan karena rumah selalu terang. Insulasi dari jendela dibuat maksimal dengan import kaca jendela dengan daya insulasi tinggi dari Swiss.</p> <p>Penghematan air tanah dilakukan dengan menampung air hujan dengan penampung di bagian bawah halaman rumah. ”Air itu kami gunakan untuk mencuci baju, menggelontor WC, dan mencuci piring. Karena tak ada chlor-nya, hanya perlu detergen sedikit, mencuci juga lebih cepat sehingga listrik yang digunakan lebih sedikit,” jelas ibu dari Andrea dan Jonas ini.</p> <p>Dengan membangun rumah sesuai standar pemerintah seperti itu, Charlotte dan Mona mengakui biaya pembangunannya lebih tinggi sekitar 5 persen daripada membangun rumah biasa. Dia menghabiskan dana sekitar 3,15 juta krone (sekitar Rp 6,3 miliar) untuk rumah di atas lahan sekitar 400 m2 itu. Untuk biaya pemanas dia hanya membayar 6.000 krone per tahun (sekitar Rp 12 juta), lebih murah 25 persen dari bangunan biasa. Demikian juga untuk penggunaan listrik.</p> <p>”Kalau kita mau bumi kita tetap lestari ini harus kita jalani. Ini semua untuk kepentingan kehidupan di masa depan, kita harus mempertahankan bumi,” tegas Charlotte, potret wajah Denmark itu, tanpa ragu.</p>jhonsonblogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/15344328025680029393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-665458100466852470.post-64881253537112694032009-08-22T22:52:00.002-07:002009-08-22T22:54:53.875-07:00PEMANASAN GLOBAL ANCAM 900 SPESIES TERUMBU KARANG<p align="justify">Pemanasan global akan mengancam keberlangsungan hidup sedikitnya 900 spesies terumbu karang di segitiga terumbu karang terbesar di dunia. ''Ini bukan masalah lautnya yang parah. Kalau kena global warming suhu air laut akan naik dan terumbu karang bisa mati,'' ujar Ketua Panitia Nasional World Ocean Conference 2009, Indroyono Soesilo, di Jakarta, pekan lalu.</p><div align="justify"> </div>Indroyono mengatakan, keberlangsungan segitiga terumbu karang terbesar dunia atau coral triangle merupakan hal penting. Ini karena lokasi tersebut dapat dikatakan sebagai 'Hutan Amazon' dasar laut terbesar di dunia.<br /><br />Badan-badan dunia dan LSM dunia pun menyadari bahwa inisiasi Indonesia untuk menyelenggarakan WOC 2009 pada 11 hingga 15 Mei mendatang di Manado merupakan event penting. Bahkan, United Nations Environmental Program (UNEP) akan mengawal pelaksanaan konfrensi kelautan pertama di dunia tersebut sehingga menghasilkan draft kebijakan terkait kelautan.<br /><br />''UNEP bahkan akan membuat 'Ocean Day pada Pertemuan Tingkat Tinggi terkait Pemanasan Global, Teknologi, dan Penghijauan di Copenhagen bulan September 2009,'' ujar Indroyono. Matinya terumbu karang di kawasan segitiga terumbu karang terbesar di dunia, akan mengancam sumber daya ikan dunia. Negara-negara yang termasuk dalam kawasan ini adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Timor Leste, dan Kepulauan Solomon.<br /><br />Karena itu, WOC 2009 yang mengambil tema Ocean and Climate Change dengan topik 'Ocean Impact to Climate Change and The Role of Ocean to Climate Change' diharapkan mampu menghasilkan rancangan strategi yang akan tertuang dalam Manado Ocean Declaration(MOD). Hasil dari WOC 2009 akan ditindaklanjuti dengan Rencana Aksi dan Implementasi, yang akan diusulkan pembentukan World Ocean Forum.<br /><br />Untuk pelestarian terumbu karang di kawasan segitiga terumbu karang, telah terkumbul dana hibah senilai 250 juta dolar AS. Dari hibah tersebut berasal dari negara maju termasuk Amerika dan Australia serta Global Environment Fund (GEF). Dari total dana hibah tersebut, Indonesia berharap bisa mendapatkan proporsi terbesar yakni lebih dari 50 persen. Hibah tersebut nantinya sebagai modal bagi rencana aksi nasional penyelamatan terumbu karang di kawasan Nusantara. ''Kami berharap bisa mendapat proporsi cukup besar,'' ujar Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi.<br /><br />Indonesia memiliki luas total kawasan terumbu karang sebesar 85.707 kilometer persegi. Jumlah tersebut terdiri dari jenis penghalang 50.223 kilometer persegi, jenis atol 19.540 kilometer persegi, jenis tepi seluas 14.542 kilometer persegi, dan jenis landas oseanik 1.402 kilometer persegi.<br /><br />Hasil penelitian Pusat Penelitian Oeseanografi LIPI pada 841 lokasi kawasan terumbu karang di Indonesia, dari jumlah tersebut, sekitar 33,17 persen mengalami kerusakan parah. Dari penelitian tersebut, diketahui pula bahwa 37,34 persen dari total terumbu karang itu juga mengalami kerusakan dengan kondisi buruk. Sedangkan kawasan terumbu karang yang masih dalam kondisi baik tercacat 24,26 persen dan kondisi sangat baik tinggal 5,32 persen saja.jhonsonblogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/15344328025680029393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-665458100466852470.post-47019057799319505692009-08-22T22:52:00.001-07:002009-08-22T22:52:25.507-07:00Perancis Danai Program Perubahan IklimBadan Perancis untuk Pembangunan (Agence Francaise de Development/AFD) memberikan pinjaman kepada Indonesia sebesar 300 juta dolar AS yang merupakan pembayaran tahap kedua Program Pinjaman Perubahan Iklim (Climat Change Program Loan/CCPL).<br /><br />Keterangan tertulis Departemen Keuangan (Depkeu) di Jakarta, Selasa, menyebutkan, Dirjen Pengelolaan Utang Depkeu Rahmat Waluyanto dan Country Director AFD di Indonesia, Joel Daligault, menandatangani perjanjian pinjaman itu pada Senin kemarin.<br /><br />Pinjaman lunak itu ditujukan untuk mendukung Indonesia dalam program melawan perubahan iklim. Pinjaman lunak jangka panjang ini akan sepenuhnya dicairkan dalam beberapa pekan mendatang sebagai anggaran pendukung dalam anggaran Pemerintah Indonesia.<br /><br />Dalam kerangka CCPL, pada tahun 2008 AFD telah mengucurkan pinjaman tahap pertama sebesar 200 juta dolar AS kepada Pemerintah Indonesia. Hal itu dalam kerangka pembiayaan bersama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA).<br /><br />CCPL merupakan pinjaman tiga tahun (2007-2009) yang bertujuan untuk mendukung reformasi kebijakan yang sedang berjalan untuk menghadapi berbagai perubahan iklim. Matriks kebijakan tersebut mencakup bidang mitigasi (kehutanan, energi), adaptasi (pertanian, air), dan isu-isu lintas sektoral.jhonsonblogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/15344328025680029393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-665458100466852470.post-16725053782450340902009-08-22T22:48:00.001-07:002009-08-22T22:50:48.130-07:00Indonesia Termasuk Rentan Bencana Akibat Perubahan Iklim<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh-mywAussrEt_Uu848bMSrBfEWo12lSNAdsONJIhYizsFDEjVGA43Q3eiIC18CUL9SvKikAl6l1cJXnOesNn5odpUR3HYLVFhUu5E9ciSlERB8jdrxzaSa6gTAozQJezj5Ak8ohTZK1_s/s1600-h/081209085628-large.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh-mywAussrEt_Uu848bMSrBfEWo12lSNAdsONJIhYizsFDEjVGA43Q3eiIC18CUL9SvKikAl6l1cJXnOesNn5odpUR3HYLVFhUu5E9ciSlERB8jdrxzaSa6gTAozQJezj5Ak8ohTZK1_s/s320/081209085628-large.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5373032220851287170" border="0" /></a><br />Perubahan iklim global yang terjadi dewasa ini, membuat negara-negara di belahan dunia ini termasuk Indonesia rentan terhadap bencana, kata pengamat Lingkungan di Papua, Yunus Paelo, kepada wartawan di Jayapura, Selasa.<br /><br />Yunus yang juga seorang pengajar di Stiper Jayapura, menjelaskan, kemungkinan pemanasan global itu akan menimbulkan kekeringan dan curah hujan ekstrim yang pada gilirannya akan menimbulkan risiko bencana.<br /><br />Ia mengungkapkan, selama periode 2003-2005 di Indonesia telah terjadi 1.429 bencana. Sekitar 53,3 persen adalah bencana terkait dengan hidro-meteorologi yakni banjir.<br /><br />Banjir adalah bencana yang sering terjadi atau sebanyak 34 persen dan diikuti bencana longsor 16 persen.<br /><br />"Pemanasan global ditandai dengan meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi, sebagai akibat peristiwa efek rumah kaca yaitu terperangkapnya radiasi matahari yang seharusnya dipancarkan kembali ke angkasa luar namun tertahan oleh lapisan akumulasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer,".<br /><br />Ditambahkannya, tindakan aktif yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya perubahan iklim dan mengurangi dampak pemanasan global, yakni dengan dilakukannya upaya penurunan emisi GRK.<br /><br />"Juga telah dilakukan berbagai kebijakan seperti di bidang kehutanan dengan rehabilitasi hutan dan lahan, serta konservasi, penanggulangan ilegal loging, restrukturisasi sektor kehutanan, pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, penanggulangan dan pencegahan kebakaran hutan, reboisasi sekitar daerah resapan air, dan sebagainyajhonsonblogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/15344328025680029393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-665458100466852470.post-49687583796737054002009-08-22T22:45:00.000-07:002009-08-22T22:46:57.761-07:0030 Jenis Penyakit Yang Muncul Akibat Pemanasan GlobalStaf Khusus Menteri Lingkungan Hidup, Amanda Katil Niode di sela-sela penganugerahan Raksaniyata 2008 di Jakarta, Jumat mengatakan, munculnya penyakit ini karena temperatur suhu panas bumi yang terus meningkat.<br /> <br />"Yang paling jelas kelihatan penyakit demam berdarah, kolera, diare, disusul virus ebola yang sangat mematikan," katanya.<br /> <br />Menurut dia, masalah kesehatan akibat pemanasan global memang sangat dirasakan parahnya oleh negara-negara berkembang yang sebagian masih miskin, karena minimnya dana sehingga tak mampu lagi melaksanakan berbagai program persiapan dan tanggap darurat.<br /> <br />Untuk mengatasi dampak buruk perubahan iklim terhadap kesehatan manusia itu, tidak bisa dilakukan sendiri oleh masing-masing negara.<br /> <br />Upaya itu baru akan berhasil jika dilakukan melalui kerjasama global, seperti misalnya meningkatkan pengawasan dan pengendalian penyakit-penyakit infeksi, memastikan penggunaan air tanah yang kian surut, dan mengkoordinasikan tindakan kesehatan darurat.<br /> <br />"Itu semua penting dilakukan, karena perubahan iklim jelas-jelas akibat dari kegiatan manusia yang tak peduli terhadap keseimbangan alam, yang kemudian berimplikasi serius terhadap kesehatan publik," ujarnya.<br /> <br />Selain menyebabkan gangguan kesehatan, perubahan iklim juga mengakibatkan berbagai bencana alam yang sangat besar. Sepanjang tahun 2006 telah terjadi 390 bencana besar di dunia yang banyak menelan korban.<br /> <br />"Amerika Serikat paling banyak terjadi bencana dibanding negara-negara lain, tetapi untuk jumlah korban paling banyak saat tsunami terjadi di Aceh pada 2004 lalu," jelasnya.<br /> <br />Di Indonesia sendiri, kata dia, bencana alam banyak terjadi akibat kesadaran masyarakat yang lemah, seperti pembalakan liar, kebakaran hutan, dan pembuangan karbon dioksida (CO2). Agar bencana alam dapat diminimalisir diperlukan sinkronisasi antara pemerintah, dunia usaha dan individu.jhonsonblogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/15344328025680029393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-665458100466852470.post-44546106881064105282009-08-22T19:07:00.000-07:002009-08-22T19:08:05.474-07:00Stopping Global Warming Pollution<span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;color:#000000;"><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;color:#000000;"><span style="font-family:Arial;font-size:85%;color:black;"><span style="font-size: 10pt; color: black; font-family: Arial;">More than 100 members of Congress have already cosponsored the Safe Climate Act, a science-based bill to dramatically reduce <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">U.S.</st1:country-region></st1:place> global warming pollution. Introduced in late June by Congressman Henry Waxman, the bill requires the <st1:country-region st="on"><st1:place st="on"><st1:country-region st="on"><st1:place st="on">U.S.</st1:place></st1:country-region></st1:place></st1:country-region> to reduce its global warming pollution by about 15% by 2020 and by 80% by 2050. To achieve these targets, the bill calls for improved energy efficiency and a greater reliance on clean, renewable energy sources.<o:p></o:p></span></span><span style="font-family:Arial;font-size:85%;color:black;"><span style="font-size: 10pt; color: black; font-family: Arial;"><o:p></o:p><o:p></o:p></span></span> </span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;color:#000000;"><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;color:#000000;"><span style="font-family:Arial;font-size:85%;color:black;"><span style="font-size: 10pt; color: black; font-family: Arial;">A recent U.S. PIRG report, called <i><span style="font-style: italic;">Rising to the Challenge</span></i>, provides a blueprint for reducing <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">U.S.</st1:place></st1:country-region> global warming emissions by nearly 20% by 2020 by taking six steps to boost energy efficiency and renewable energy. </span></span><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;"><a href="http://uspirg.org/uspirgnewsroom.asp?id2=26147"><u>More.</u></a> </span></span></span></p> <p><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;color:#000000;"><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;color:#000000;"><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;"><strong>How You Can Help</strong><br /> <a href="http://uspirg.org/uspirg.asp?id=1339&id3=USPIRG&id4=FS"><u>Call your representative</u></a> </span><span style="font-family:Arial;font-size:85%;color:black;"><span style="font-size: 10pt; color: black; font-family: Arial;">urging him or her to cosponsor the Safe Climate Act, legislation that will reduce global warming pollution nationwide to levels necessary to prevent the worst impacts of global warming</span></span><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;">.</span></span></span></p> <p><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;color:#000000;"><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;color:#000000;"><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;"><strong>Summary</strong><br />More and more Americans are becoming concerned about global warming. As power plants and cars spew out more global warming pollution, we will see rising sea levels along the Eastern seaboard, more intense storms in the Gulf, droughts in the West, and more dangerous heat waves across the country.</span></span></span></p> <p><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;color:#000000;"><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;color:#000000;"><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;">The good news is that if we act now and act decisively we can stop global warming and protect our children and future generations. </span></span></span></p> <p><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;color:#000000;"><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;color:#000000;"><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;">Unfortunately, the Bush administration is refusing to act, but we don’t have time to waste. The longer we wait, the more global warming pollution builds up in the atmosphere – and the worse the effects will be.</span></span></span></p> <p><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;color:#000000;"><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;color:#000000;"><span style="font-family:Arial, Helvetica, sans-serif;font-size:85%;">That is why PIRG is urging Congress to reject ineffectual proposals and set science-based targets for reducing global warming pollution from power plants, cars, and other sources</span></span></span></p>jhonsonblogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/15344328025680029393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-665458100466852470.post-67378622461594147062009-08-22T19:00:00.000-07:002009-08-22T19:01:20.131-07:00Geoengineering could stop global warming but carries big risks<span style="font-family:verdana,sans-serf;font-size:85%;">Using radical techniques to "engineer" Earth's climate by blocking sunlight could cool Earth but presents great risks that could well worsen global warming should they fail or be discontinued, reports a new study published in the June 4 early online edition of <i>The Proceedings of the National Academy of Sciences</i>.<br /><br />Using computer simulations to model the impact of proposed experiments using a solar filter to block sunlight instead of reducing greenhouse gas emissions, an international team of scientists conclude that geoengineering a risky strategy.<br /><br />"Given current political and economic trends, it is easy to become pessimistic about the prospect that needed cuts in carbon dioxide emissions will come soon enough or be deep enough to avoid irreversibly damaging our climate," said co-author Ken Caldeira of the Carnegie Institution's Department of Global Ecology. "If we want to consider more dramatic options, such as deliberately altering the Earth's climate, it's important to understand how these strategies might play out."<br /><br /><table align="right"> <tbody><tr> <td width="20"><br /></td> <td width="240"><span style="font-size:78%;"> <img src="http://photos.mongabay.com/07/0604IMG_1822.jpg" border="0" /><br /><br />Photo by Rhett A. Butler<br /><br /></span></td> </tr> </tbody></table>Scientists have put forward several proposals to reduce the amount of solar radiation that reaches the planet's surface, including the use of light-reflecting sulfate particles in the atmosphere and installing mirrors in orbit around the planet.<br /><br />The PNAS study shows that geoengineering schemes, even under a scenario of increasing emissions, could cool Earth within a few decades to pre-Industrial Revolution levels, but that failure of the system would result in "a catastrophic, decade-long spike in global temperatures... with rates of warming 20 times greater than we are experiencing today" as carbon sequestered in plants and soils would be quickly released into the atmosphere."<br /><br />"If we become addicted to a planetary sunshade, we could experience a painful withdrawal if our fix was suddenly cut off," said Caldeira. "This needs to be taken into consideration if we ever think seriously about implementing a geoengineering strategy."<br /><br />Caldeira and lead author Damon Matthews of Concordia University in Montreal say that their models also show geoengineering would affect global rainfall patterns, with lower levels of precipitation over tropical forests. In their models run with no simulated geoengineering, warmer temperatures resulted in more rainfall over the oceans and less over tropical forests<br /><br />"Many people argue that we need to prevent climate change. Others argue that we need to keep emitting greenhouse gases," Caldeira said. "Geoengineering schemes have been proposed as a cheap fix that could let us have our cake and eat it, too. But geoengineering schemes are not well understood. Our study shows that planet-sized geoengineering means planet-sized risks."<br /><br />Caldeira said that proposed geoengineering schemes need to be better understood before they are implemented but that the quick-acting nature of the projects mean that can put off geoengineering decisions until they become absolutely necessary.<br /><br />"I hope I never need a parachute, but if my plane is going down in flames, I sure hope I have a parachute handy," Caldeira said. "I hope we'll never need geoengineering schemes, but if a climate catastrophe occurs, I sure hope we will have thought through our options carefully.</span>jhonsonblogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/15344328025680029393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-665458100466852470.post-72010720183423946252009-08-21T10:16:00.000-07:002009-08-21T10:17:15.127-07:00Sekjen PBB Minta Langkah Praktis Hadapi Pemanasan GlobalMarkas Besar PBB, New York (ANTARA News) - Sekretaris Jenderal Ban Ki-moon meminta semua negara, baik negara kaya maupun negara miskin, untuk melakukan langkah-langkah praktis dalam menghadapi dampak pemanasan global.<br /><br />Pada saat yang sama, Sekjen PBB juga mendesak negara-negara maju untuk memberikan sumbangan bagi program pendanaan dan program lainnya untuk membantu masyarakat di negara-negara yang harus menanggung dampak perubahan iklim.<br /><br />Seperti dikutip oleh salah satu juru bicaranya, Farhan Haq, dalam jumpa pers di Markas Besar PBB, New York, Senin, Ban menekankan bahwa adaptasi terhadap dampak pemanasan global merupakan investasi penting bagi masa depan semua pihak.<br /><br />"Adaptasi harus kita lihat sebagai hal yang serius. Adaptasi merupakan kebutuhan praktis dan juga kewajiban moral," kata Ban dalam pidato yang disampaikannya di Ulaabaatar, ibukota negara Mongolia, Senin.<br /><br />Berbagai langkah praktis, ujarnya, harus diambil oleh semua negara.<br /><br />Upaya itu, menurutnya, bisa dimulai dengan mengumpulkan data ilmiah secara rinci tentang dampak perubahan iklim sehingga negara yang bersangkutan dapat mengarahkan berbagai sumber daya mereka untuk melakukan langkah-langkah terbaik.<br /><br />Ia juga mengimbau agar negara-negara yang rentan terhadap pemanasan global melakukan berbagai upaya untuk mengurangi resiko bencana.<br /><br />Menanam pohon bakau di daerah pesisir serta meningkatkan pendidikan masyarakat dan menyusun rencana evakuasi, disebut Sekjen sebagai contoh langkah praktis dan cenderung tidak mahal yang dapat dilakukan sebuah negara dalam mengantisipasi dampak pemanasan global.<br /><br />Ban mengingatkan, kesepakatan dalam pembicaraan global soal kelanjutan Protokol Kyoto yang akan berlangsung di Kopenhagen, Denmark, pada Desember 2009 mendatang, harus membuat ketentuan bagi negara-negara makmur untuk menyediakan bantuan bagi negara-negara miskin dan rentan terhadap perubahan iklim agar mereka dapat menghadapi dampak pemanasan global.<br /><br />"Miliaran (dolar, red) dana akan diperlukan. Harus ada dana baru, bukan berbentuk bantuan pembangunan resmi yang dirancang ulang," katanya.<br /><br />Untuk mendorong negara-negara dalam upaya menyelesaikan kesepakatan kelanjutan Protokol Kyoto --yang periode pertamanya akan berakhir pada tahun 2012, Sekjen Ban Ki-moon akan menggelar pertemuan tingkat tinggi di New York pada 22 September 2009.<br /><br />Pertemuan di New York itu disebut-sebut sebagai pertemuan tingkat tinggi terbesar tahun ini yang membahas masalah perubahan iklim.jhonsonblogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/15344328025680029393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-665458100466852470.post-58383280662527334402009-08-19T01:02:00.000-07:002009-08-19T01:03:40.009-07:00Climate Control Self Storage in California filed under Global WarmingFor people who like living in California, it can become very hot very fast and there may be items in your home, business or elsewhere that cannot stand that type of heat. This is part of why California storage centers tend to have climate control storage. Businesses can have food, wine and other items that are delicate to climate turn from priceless treasures into items that have gone bad and have no worth. Wine can turn to vinegar and other food items can melt or even go bad. Storage rental storage unit that is climate controlled your items can be safe guarded through the toughest of heats.<br /><br />When you think about storage you may have your first thoughts be about boat storage, vehicle storage and RV storage but in all actuality one of the types of storages that are most needed in California are climate controlled. Whether they are long term storage, self storage or mini storage climates being at a specific level can be fairly common and very much needed. California is full on restaurants, wineries, vineyards and all types of other businesses and restaurants. You can find sushi restaurants, Mexican restaurants, Chinese restaurants, family restaurants, specialty restaurants and so much more.<br /><br />For all of these businesses, they may have supplies that will not stay good overnight if they are left inside due to the heat. This is part of why having a climate controlled storage unit be self storage can be very helpful. This means that you can come and go and put your items in or take items out without having to worry about other people or having to worry about what time you go along with other factors. These factors can even include not having to pay for the help with storage each time that you go for a deposit or withdrawal.<br /><br />For vineyards, these types of storage can e essential to staying in business. Many vineyards have extensive storage areas on their property but not all of them. In addition, there are factors such as while you are trying to have an item reach its destination if your drivers have to stop for the night and it con not be shipped. Or what would happen if you have a batch that you wanted separate from the rest or even if your storage were to become filled. These are only some of the possibilities that make climate controlled self storage necessary for some businesses.<br /><br />While climate controlled self storage can be wonderful for businesses, it can also be very helpful for individuals and residents of California. There are many reasons for this all of which any wine collector would be able to understand in an instant. Wine is able to turn into vinegar if it does not stay t the proper temperature whereas if t stays at the correct temperature there is nothing stopping it from lasting longer then any person could. Many people may pass their collections on to their children, to other collectors or simply on to someone that they care about.<br /><br />When passing on a private collection you will want to have a storage unit for your wine for while the contracts are signed and much more so that you will know that your wine is safe and able to get to who you would lie to have it be in the hands of. When a person passes on everything that they give out in their will needs to be legalized so if your property was going to a different individual then your wine collection having it still be on that property could cause issues for the person who was trying to get it or for legalizing the transaction. In addition, in the mean time while it was being legalized you would not be there to check the temperature and make sure that your wine was safe.<br /><br />To some wine is simply a drink that you have in a restaurant or in your home. To others wine is a priceless item filled with memories and devotion of makers, collectors and more. Self storage that is climate controlled can help you store your entire collection or even just your most prized wines. Some people enjoy having their favorite wines or most loved ones in storage for a later date. Such as having the wine you had at your wedding on your anniversary years later. This shows a devotion to the piece but more importantly a devotion to the person who you love and the wonderful day that your unity began.jhonsonblogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/15344328025680029393noreply@blogger.com0