SELAMAT DATANG DI SITUS KAMI SEMOGA BERKESAN DAN BERMANFAAT.TERIMA KASIH

Sabtu, 22 Agustus 2009

Dari Rumah Menahan Pemanasan Global

KOMPAS. Denmark adalah negeri dengan penduduk paling bahagia di dunia. Awal Juni empat wartawan Indonesia diundang untuk melihat dari dekat bagaimana Pemerintah Denmark memberikan pelayanan prima kepada warganya, termasuk isu lingkungan.

Di Denmark juga ada pernyataan: Bersatu Kita Tegak Mengalahkan Tantangan Iklim (United We Stand in Tackling the Climate Challenge). Mirip slogan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono? Memang. Namun, dalam praktiknya sungguh berbeda. Di Denmark, kebijakan menahan laju pemanasan global dilakukan hingga tingkat grass root, tingkat rumahan.

Lebih dari separuh emisi karbon Denmark berasal dari konsumsi pribadi untuk pemanas, listrik, transportasi, dan barang- barang konsumsi. Warga Denmark pada umumnya sadar dan tahu akan pemanasan global, perubahan iklim, dan perlunya penghematan energi. Namun tidak semua menerapkannya dalam hidup kesehariannya. Kampanye lalu dilakukan oleh Kementerian Lingkungan dan Kementerian Transportasi dan Energi secara nasional. Akhirnya sekitar dua tahun lalu muncul ide yang sungguh pintar dan luar biasa dengan membentuk Kementerian Iklim dan Energi—dua kubu yang biasanya bertegangan tinggi soal lingkungan dan emisi karbon!

Kampanye yang dilakukan berisi hal keseharian yang menyentuh langsung kegiatan kehidupan sehari-hari, yang dengan itu warga juga dapat langsung menghitungnya dalam bentuk berapa pengeluaran dan berapa besar investasi jangka panjang yang menyertainya jika mereka mengurangi emisi karbon. Mengurangi emisi karbon lantas menjadi topik keseharian di ”warung kopi”.

Contoh yang amat nyata adalah ketika Pemerintah Denmark mengeluarkan peraturan tentang aturan membuat rumah, semacam syarat-syarat izin mendirikan bangunan (IMB) di Jakarta. Agar semua bergerak ke arah yang dikehendaki—hanya jika pemerintah benar-benar menghendaki(!)—maka harus keluar peraturan yang ditegakkan, bukan hanya dituliskan yang proses pembuatannya pun mahal. Maka, keluarlah peraturan tentang Kode Etik Bangunan.

”Rakyat tidak akan bisa melihat apa keuntungan dari efisiensi energi. Pemerintah yang bisa. Harus mulai dari pemerintah, jadi masyarakat lalu tahu, dan kemudian semua baru bisa berjalan. Tidak bisa diserahkan ke publik begitu saja,” ujar Konselor Menteri pada Kementerian Luar Negeri Denmark Claus Hermansen dalam perjumpaan dengan sejumlah wartawan Indonesia awal Juni lalu.

Prinsip pertama yang diterapkan yaitu prinsip hukuman dan ganjaran (stick and carrot) menyangkut penggunaan energi. Mereka yang boros energi dikenai biaya tinggi dan sebaliknya mereka yang menggunakan energi dengan amat efisien mendapatkan insentif.

”Kami menerapkan pajak energi yang amat tinggi. Kalau energi tidak ada harganya, orang tak akan menghargainya. Mereka akan membuangnya begitu saja dari jendela,” ujar Hermansen mengibaratkan. Dengan cara itu, orang mulai selalu ingat untuk mematikan lampu, memasang AC di suhu sedang sekitar 25° celsius, dan dengan itu mereka bisa menghemat pengeluaran secara signifikan,” ujarnya. Sebagai contoh, harga listrik di Denmark untuk 1 kilowatt jam (kWh) yaitu 250 krone atau sekitar Rp 450.000.

Dengan Kode Etik Bangunan yang baru, pemerintah menargetkan pengurangan penggunaan energi—dikonversi ke minyak bumi—hingga 25 persen-30 persen ketimbang tahun 2006. Bangunan yang ada rata-rata butuh 14 liter minyak per meter persegi (lt/m2). Tahun 2006 penggunaan energi untuk rumah setara 5,5 lt/m2 Target tahun 2010 adalah 3 lt/m2. ”Setelah tahun 2010 peraturan akan kami perketat,” tutur Hermansen. Peraturan itu bersifat wajib. Berangsur semua bangunan harus memiliki sertifikat ”rumah hijau” atau bangunan ”hijau”. Sertifikat diterbitkan oleh Danish Energy Authority.

Bangunan yang bersertifikat dengan berbagai tingkatan harganya memang lebih tinggi daripada bangunan tua yang tidak mengikuti kaidah-kaidah efisiensi energi. Namun, biaya operasionalnya lebih rendah. Tujuan akhirnya, tegas Hermansen adalah, ”Rumah pasif (passive house) yaitu rumah yang tidak menggunakan bahan bakar fosil, rumah tanpa emisi gas rumah kaca (GRK). Suatu saat di masa depan nanti. Kami belum tetapkan kapan.”

Rumah hijau Charlotte

Menyusul kode etik tersebut, pemerintah menunjuk perumahan di daerah Stenløse, kira-kira 30 menit dari Kopenhagen, ibu kota Denmark, untuk menerapkan kaidah-kaidah rumah hijau. Di antaranya yaitu rumah kediaman keluarga Peter Hans Jensen-Charlotte Hjelm. Keluarga muda ini membangun rumah pertamanya sesuai dengan arahan pemerintah. Pasangan ini didampingi penasihat teknis dari pemerintah setempat. Mereka, Mona Dates dan Jens Lemche, mendampingi kami saat mengunjungi rumah Charlotte.

Keluarga dengan dua anak ini memasang insulasi yang menjadi bagian penting dari sebuah rumah dengan efisiensi energi. Insulasi berfungsi menyerap udara panas dan udara dingin dari luar sehingga suhu di dalam rumah tidak terlalu panas atau dingin. ”Kami tidak membutuhkan banyak gas untuk memanaskan rumah,” tutur Charlotte. Gas pemanas rumah pada bangunan baru telah ditanam sebagai instalasi di bawah rumah sehingga tak ada lagi batang-batang besi di dalam rumah.

Selain itu, penempatan jendela dengan kaca besar-besar juga menyebabkan penggunaan listrik bisa ditekan karena rumah selalu terang. Insulasi dari jendela dibuat maksimal dengan import kaca jendela dengan daya insulasi tinggi dari Swiss.

Penghematan air tanah dilakukan dengan menampung air hujan dengan penampung di bagian bawah halaman rumah. ”Air itu kami gunakan untuk mencuci baju, menggelontor WC, dan mencuci piring. Karena tak ada chlor-nya, hanya perlu detergen sedikit, mencuci juga lebih cepat sehingga listrik yang digunakan lebih sedikit,” jelas ibu dari Andrea dan Jonas ini.

Dengan membangun rumah sesuai standar pemerintah seperti itu, Charlotte dan Mona mengakui biaya pembangunannya lebih tinggi sekitar 5 persen daripada membangun rumah biasa. Dia menghabiskan dana sekitar 3,15 juta krone (sekitar Rp 6,3 miliar) untuk rumah di atas lahan sekitar 400 m2 itu. Untuk biaya pemanas dia hanya membayar 6.000 krone per tahun (sekitar Rp 12 juta), lebih murah 25 persen dari bangunan biasa. Demikian juga untuk penggunaan listrik.

”Kalau kita mau bumi kita tetap lestari ini harus kita jalani. Ini semua untuk kepentingan kehidupan di masa depan, kita harus mempertahankan bumi,” tegas Charlotte, potret wajah Denmark itu, tanpa ragu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar