SELAMAT DATANG DI SITUS KAMI SEMOGA BERKESAN DAN BERMANFAAT.TERIMA KASIH

Jumat, 15 November 2013

Pemanasan Global Ancam Hewan-hewan Ini


TEMPO.COIowa - Pemanasan global mengancam kelangsungan hidup sejumlah hewan. Richard Shine, seorang ahli biologi evolusi di University of Sydney, Australia, mengatakan ada beberapa kelompok hewan yang jenis kelamin anakannya sangat dipengaruhi oleh perubahan suhu.

"Semua jenis buaya, sebagian kura-kura dan kadal, serta beberapa ikan terpengaruh," kata Shine, seperti dikutipNewscientist, Senin, 6 Mei 2013.

Ia menanggapi temuan tim peneliti Iowa State University, Amerika Serikat, yang menyebutkan kenaikan suhu udara rata-rata sebesar 1,1 derajat Celcius bakal mengubah kelamin anakan kura-kura berwarna (Chrysemys picta) menjadi seratus persen betina.

"Inilah mengapa kura-kura berwarna terancam punah," ucap Rory Telemeco, anggota tim peneliti. Telemeco meneliti bersama rekannya, Fredric Janzen.

Shine, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, mengatakan pamanasan global memang mengkhawatirkan. Bahkan, bentuk adaptasi induk kura-kura berwarna dengan cara memajukan jadwal bertelur hingga beberapa pekan lebih awal tidak akan mampu menghalangi perubahan kelamin anakan mereka.

Namun demikian, Shine optimistis kura-kura berwarna dan spesies lainnya mampu bertahan hidup menghadapi pamanasan global. "Mereka bisa beradaptasi dengan meletakkan telur di lokasi yang teduh atau mengembangkan kemampuan untuk mengatasi kondisi hangat," ujarnya.

Sebaliknya, Telemeco tidak seyakin itu. "Masalahnya, perubahan iklim terjadi sangat cepat sehingga respons evolusioner organisme tidak sempat mengikutinya," ucapnya.

Petunjuk tentang kemampuan bertahan hidup pada kura-kura berwarna mungkin dapat dipahami secara lebih baik lewat genom yang diurutkan bulan lalu. Mengamati perubahan ekspresi gen sebagai respons terhadap perubahan suhu dapat menguak misteri di balik adaptasi kura-kura berwarna dengan lingkungan mereka.

Es Mencair, Kota di Alaska Banjir


Es Mencair, Kota di Alaska Banjir

TEMPO.COAlaska - Bongkahan es di Sungai Yukon, Alaska, mulai mencair pada Rabu, 29 Mei 2013 dan memaksa warga untuk segera mengungsi. Pantauan udara melaporkan, bongkahan es telah patah dan tertahan di sungai sepanjang 30 mil (48 kilometer).

“Itu berarti es akan mencair dan membanjiri hingga kota Gelena yang terletak 20 km dari hulu dan mengancam memecah tanggul yang melindungi bandara dari banjir,” ujar Ed Plumb, dari Dinas Cuaca Nasional pada Daily Mail Kamis, 30 Mei 2013.

Tidak ada korban jiwa dalam musibah ini, tapi sebagian besar warga kehilangan rumah dan mereka terpaksa mengungsi. Kini, kota itu bak kota mati. Tak ada listrik, air bersih, dan jaringan komunikasi.

Menurut Kevin Ray, warga setempat, banjir ini bukanlah yang pertama bagi mereka. Namun, kali ini, air meningkat begitu cepat, sampai-sampai rumah panggung pun turut kebanjiran.

Bencana ini meninggalkan trauma yang mendalam. Kini, pemerintah setempat akan mengeluarkan status darurat bencana dan akan membangun kembali kota mati itu.

Bencana ini seolah menjadi teguran bagi manusia. Pemanasan global yang tak terbendung lagi memaksa es-es mencair dan membanjiri rumah warga. Es sepanjang 48 kilometer saja telah mampu menimbulkan bencana yang besar. Lantas, bagaimana jika es-es di kedua kutub mencair semua? Tentu tak ada yang bisa membayangkan kedahsyatannya.

Kurangi Gas Rumah Kaca Tekan Kematian Prematur



TEMPO.COJakarta--Penggunaan bahan bakar minyak dikenal sebagai penyumbang terbesar pencemaran udara, membahayakan kesehatan dan memicu efek gas rumah kaca yang menyebabkan naiknya suhu permukaan bumi. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa jika jumlah gas rumah kaca berhasil diturunkan maka itu bisa mencegah sekitar tiga juta kematian prematur.

Gas yang menyebabkan efek rumah kaca, seperti karbon dioksida, menahan panas di permukaan bumi yang menyebabkan temperatur naik. Pemanasan global yang terjadi saat ini adalah imbas dari naiknya level karbon dioksida akibat penggunaan bahan bakar fosil secara masif sejak Revolusi Industri pada akhir abad 18. 

Peneliti dari Universitas North Carolina, Jason West, menyebutkan bahwa efek polusi udara pada angka kematian tidak lagi bersifat lokal dan jangka pendek. Polutan sudah menyebar ke seluruh dunia dan menyebabkan perubahan jangka panjang pada populasi manusia, perubahan iklim dan kualitas udara. Efeknya akan semakin dahsyat jika gas rumah kaca tidak dikurangi. 

West dan koleganya menghitung bahwa pada 2030 sekitar 300-700 ribu kematian prematur sebenarnya bisa dicegah jika gas rumah kaca dikurangi secara drastis. Dua pertiga dari jumlah kematian prematur itu ada di Cina. Pada 2050, pengurangan gas rumah kaca akan mengurangi angka kematian prematur hingga 1,8 juta jiwa. Kemudian pada 2100, sekitar tiga juta kematian prematur akibat polusi udara bisa dicegah. 

"Mengurangi gas rumah kaca bisa menurunkan jumlah polutan udara dan punya efek signifikan dalam menyelamatkan banyak nyawa," kata West. Para peneliti memperkirakan biaya untuk mengurangi satu ton emisi karbon dioksida sekitar 50 hingga 380 dolar Amerika Serikat. West mengatakan perubahan iklim adalah masalah serius yang butuh penanganan cepat. 

Lembaga Kerja Sama Antarpemerintah untuk Isu Perubahan Iklim akan memberikan pernyataannya tentang penelitian iklim pekan ini. Pada 2014 lembaga international itu juga akan membuat laporan tentang bagaimana perubahan iklim mempengaruhi dunia serta penanganannya.

"Sudah berulang kali aksi untuk mengatasi masalah global jangka panjang seperti perubahan iklim ini mandek. Penelitian ini menunjukkan keuntungan luar biasa dari mengurangi gas rumah kaca dan menghambat perubahan iklim," kata West. Penelitian West dan koleganya dipublikasikan dalam jurnal Nature Climate Change. 

NASA Umumkan Pemotretan Bumi dari Saturnus

NASA Umumkan Pemotretan Bumi dari Saturnus

TEMPO.CO, Colorado - Pada Juli mendatang, Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) akan mengambil foto bumi dari satelit yang mengorbit di planet Saturnus. Momen ini akan dilaksanakan pada 19 Juli mendatang dan foto bumi akan diambil dengan kamera resolusi tinggi dari wahana Cassini.

Cassini telah mengorbit di sekitar planet Saturnus sejak Oktober 1997 
dan sebelumnya hanya berhasil menangkap potret bumi dengan kualitas gambar yang buram saat mengelilingi planet bercincin itu. Namun karena Juli mendatang bertepatan dengan gerhana matahari, kamera dari Cassini ini akan mampu mengambil foto bumi dengan jelas tanpa adanya sinar matahari yang dapat merusak detektor sensitif.

Ini juga akan menjadi pertama kalinya NASA mengumumkan waktu pengambilan foto. Ketua tim Cassini dari Institut Science Space di Boulder, Colorado, Carolyn Porco mengatakan kesempatan ini diharapkan bisa dirasakan oleh warga bumi. “Masyarakat di seluruh dunia bisa berhenti sebentar dari aktivitas mereka saat foto bumi diambil untuk menjadi bagian dari gambar titik biru pucat planet bumi. Dan ini untuk menghargai perspektif kita dan dunia yang diperoleh dari eksplorasi antarplanet,” kata dia seperti dikutip dari DailyMail, Jumat 21 Jumat.

NASA akan mengambil foto bumi pada 19 Juli mendatang di antara pukul 21.27 hingga 21.42 malam. Bumi akan terlihat seukuran hanya sekitar satu piksel saja dari sudut pandang Cassini yang berjarak 898 juta jauhnya. Momen ini akan memberikan kesempatan warga dunia untuk melihat bagaimana rupa rumah (planet) mereka jika dilihat dari Saturnus.

Amerika Utara dan bagian dari Samudra Atlantik akan menunjuk ke arah Saturnus pada saat gambar diambil.

Linda Spilker,ilmuwan proyek Cassini di Jet Propulsion Laboratory NASA di Pasadena, California mengatakan, “Kami harap Anda akan bergabung dengan kami dengan melambaikan tangan dari Bumi ke arah Saturnus, sehingga kita bisa merayakan kesempatan khusus ini,” katanya.

Tim Cassini telah memilih 19 Juli karena akan memanfaatkan keuntungan dari gerhana matahari total yang langka terjadi dari Saturnus, sehingga saat memotret Bumi tidak terhalang oleh cincin Saturnus. Kamera sensitif pesawat ruang angkasa kemudian dapat beralih menuju Bumi tanpa mengalami kerusakan akibat sinar matahari.

Cassini sebelumnya pernah berhasil memotret Bumi dari Saturnus pada tahun 2006. Saturnus tampak sebagai bola dengan cincin di sekitarnya. Bumi sendiri terlihat seperti titik biru yang pucat dan terlihat diantara cincin Saturnus.

Kamis, 06 Mei 2010

Hanya 5 Provinsi Punya Tata Ruang

Hutan rusak dan hancur, bencana sering terjadi karena daerah belum memiliki tata ruang. Sampai sekarang, hanya 5 dari 33 provinsi yang sudah menyelesaikan tata ruang di daerahnya. Karena tak punya tata ruang, daerah dengan mudah memberikan izin KP. Bahkan, menjelang pilkada, izin KP semakin banyak yang dikeluarkan.

Untuk menyelamatkan lingkungan dari kerusakan, setiap daerah memiliki kearifan lokal, namun hal itu sudah ditinggalkan. Kalau pun masih ada kearifan lokal yang bertahan, masyarakat sering tak berdaya akibat kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada penyelamatan lingkungan. Agar kesadaran menyelamatkan lingkungan semakin membudaya kembali, materi lingkungan hidup seharusnya masuk kurikulum di semua jenjang dan tingkat pendidikan.

Demikian benang merah diskusi bertajuk Kita Peduli Bumi yang diselenggarakan Organisasi Pecinta Lingkungan Vanaprastha bekerjasama dengan Taman Nasional Gunung Gede Paranggo , di Cibodas, Jumat (23/4/2010). Tampil sebagai narasumber Menteri Negera Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta, Dewan Pertimbangan Presiden Meutia Hatta Swasono, Ketua Umum Vanaprastha Adhyaksa Dault, anggota p endiri Mapala Universitas Indonesia Herman Lantang, Wakil Kepala Taman Nasional Gunung Gede Paranggo, dan artis pecinta lingkungan Olivia Zalianty.

Gusti Muhammad Hatta mengatakan, pihaknya prihatin dengan kerusakan lingkungan yang sedemikian parah di sejumlah daerah, sehingga menyebabkan terjadinya bencana. Kerusakan dipicu karena daerah belum mempunyai tata ruang, sehingga belum jelas peruntukan lahan.

"Dari 33 provinsi baru 5 provinsi yang sudah menyelesaikan tata ruangnya. Akibat tata ruang tidak ada, daerah dengan mudahnya menyetujui suatu investasi, meski itu harus mengorbankan lingkungan. Saya curiga, saya lihat areal penggunaan lain (APL) hutannya lebat, sementara hutan lindung kurus-kurus . Di areal APL diizinkan perkebunan kepala sawit, sehingga dengan kayunya yang besar-besar investor sudah untung sebelum membangun kepala sawit. Sebaiknya APL dijadikan saja statusnya hutan lindung," ungkap Gusti.

Meneg LH itu juga mengemukakan betapa lemahnya pengawasan. Di Kalimantan Barat, lanjut Gusti, hanya 19 perusahaan yang ada izin, 42 perusahaan lain tak ada izin. Ini terjadi gara-gara bupati dapat mengeluarkan izin KP. Bahkan, menjelang pil kada, izin KP semakin banyak yang dikeluarkan.

Gusti mengungkapkan, pihaknya diminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mempelajari kembali keputusan pengadilan terkait kasus lingkungan. "Dari 90 kasus lingkungan, 42 dinyatakan bebas, lainnya dihukum ringan. Bapak Presiden minta tinjau lagi kasus-kasus yang dinyatakan bebas dan yang diberi hukuman ringan," tandasnya.

Agar kesadaran terhadap pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan, Meneg LH itu berharap masalah lingkungan masuk kurikulum di semua jenjang dan tingkat pendidikan. "Masalah lingkungan, harus masuk kurikulum di semua jenjang dan tingkat pendidikan," ujarnya.

Meutia Hatta Swasono mengatakan, masalah konservasi harus terus digaungkan. Jika tidak, bumi akan semakin rusak. Pola piker yang cenderung merusah hutan harus diluruskan. Sebab, bumi yang kita diami sekarang adalah pinja man dari generasi mendatang.

Membangun dan memelihara bumi harus kembali kepada kearifan lokal. Di beberapa daerah ada banyak kearifan lokal yang perlu kita pedomani dan kita galakkan kembali. "Kearifan lokal itu intinya bagaimana tidak mengeksploitasi hutan dan lingkungan secara berlebihan. Jika berlebihan, bumi suatu waktu juga bisa marah," katanya.

Adhyaksa Dault mengatakan, keprihatinan kita atas menguatnya panas permukaan bumi, sangatlah rasional. Dewasa ini, bencana yang terjadi di mana-mana seperti banjir, badai, kemarau, dan perubahan musim, telah membawa penderitaan hebat bagi dunia. Bila tidak dicegah, dunia akan semakin tidak aman bagi manusia karena akan terjadi konflik memperebutkan sumber-sumber kehidupan seperti air dan makanan.

"Bencana alam terjadi di Indonesia karena kita tidak pernah menyadari sungguh-sungguh tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan dan lingkungan. Jumlah areal hutan yang musnah di Indonesia bertambah dari tahun ke tahun walaupun telah dicanangkan berbagai langkah tentang pencegahan. Walaupun kita telah lama memiliki filosofi pembangunan berwawasan lingkungan," katanya.

Turunkan Emisi Karbon di Rumah

Destia Mariana (26) tidak pernah menyangka kalau kamar dan rumahnya juga penghasil polusi gas rumah kaca yang memicu pemanasan global dan perubahan iklim. Itu baru diketahuinya ketika ia secara sukarela membeberkan aktivitas kesehariannya kepada Klinik Diet Karbon yang digelar dalam Clinic Help-Climate Justice for Earth di Taman Suropati, Minggu (25/4/2010).
Setiap orang juga bisa berbuat untuk mengurangi emisi karbon di bumi ini.

Ia menyimak dan menjawab pertanyaan Musfarayani, staf Institute for Essential Service Reform (IESR), yang mengisikan data aktivitas keseharian Destia dalam Kalkulator Jejak Karbon. ”Berapa watt lampu terbesar di rumah Anda?” tanya Musfarayani. Destia tertegun, mengingat-ingat. ”Kalau tidak salah 20 watt. Ada tujuh lampu di rumah. Menyala sekitar 16 jam per hari,” Destia menjawab dengan ragu.

Musfarayani memasukkan data itu ke dalam Kalkulator Jejak Karbon, peranti lunak di komputernya. Peranti lunak itulah yang menghitung jejak karbon, alias jumlah emisi gas rumah kaca yang diproduksi oleh suatu organisasi, produk atau individu.

Destia menuturkan, televisinya menyala sekitar tujuh jam per hari, sementara komputernya menyala sekitar tiga hingga empat jam per hari. Penanak nasi berpenghangat di rumahnya menyala 24 jam sehari, sementara kipas angin menyala satu jam per hari.

Setiap hari Destia memakai sekitar delapan lembar kertas 70 gram untuk mencatat ataupun mencetak sejumlah dokumen pribadinya. Untungnya, ia memakai ulang kertas yang sudah terpakai di salah satu sisinya sehingga jejak karbon pemakaian kertas itu berkurang.

Destia jarang membeli air mineral dalam kemasan karena ia rela repot membawa tempat minum sendiri. Ia juga pengguna angkutan massal, setiap hari ia menumpang kereta api untuk pergi dari rumahnya di Bekasi menuju kantornya di Harmoni.

”Apakah Anda selalu menghabiskan makanan di piring Anda?” Musfarayani bertanya lagi. Destia mengangguk mantap.

Namun, ada suara di belakangnya, ”Waduh, yang itu gue kena, tuh. Gue tidak pernah bisa menghabiskan makanan di piring gue,” keluh Nonik Yulianti (25), yang sedari tadi menonton penghitungan jejak karbon Destia. Musfarayani tersenyum, ”Menyisakan seperempat piring makanan itu sama dengan menghasilkan emisi 3 gram setara CO, jadi habiskan makanan di piring Anda.”

Musfarayani memasukkan semua data aktivitas Destia dalam peranti lunak Kalkulator Jejak Karbon, ”Gaya hidup Anda menghasilkan emisi karbon 16.928,56 gram setara karbon dioksida [CO],” kata Musfarayani memberitahukan Destia.

Destia tercengang. ”Saya sudah sering mendengar pemakaian kendaraan pribadi itu menimbulkan emisi gas ruang kaca. Saya agak terkejut juga ketika menyadari ternyata aktivitas saya di rumah juga menghasilkan emisi gas rumah kaca,” kata Destia seusai mengikuti penghitungan jejak karbonnya.

Musfarayani menenangkannya. ”Tenang, kami bukan meminta Anda menghentikan aktivitas sehari-hari itu. Kami hanya ingin memberi tahu agar Anda bisa merencanakan sendiri pengurangan emisi gas rumah kaca dari aktivitas Anda,” ujarnya.

Membangkitkan kesadaran

Musfarayani tidak sedang menghakimi orang yang dengan sukarela mau menghitung jejak karbon mereka. Musfarayani dan IESR hanya ingin membangkitkan kesadaran bahwa setiap orang adalah poluter emisi karbon. Setiap orang dalam hidupnya menghasilkan emisi yang membuat selimut rumah kaca bumi kian tebal.

”Itu berarti setiap orang juga bisa berbuat untuk mengurangi emisi karbon di bumi ini. Tidak ada patokan apakah seseorang dengan emisi karbon 20.000 gram setara CO, misalnya, akan digolongkan sebagai poluter yang parah karena berapa jejak karbon seseorang bergantung pada gaya hidup masing-masing. Yang penting, apa rencana orang itu untuk mengurangi emisi karbonnya,” kata Musfarayani.

Kalau Anda membiarkan lampu 10 watt tetap padam, Anda mengurangi emisi karbon sebanyak 0,51 gram setara CO. Daripada mengendarai motor, berjalan kaki untuk berbelanja di warung berjarak 500 meter dari rumah lebih menghemat 14,8 gram setara CO.

Mengurangi pemakaian satu lembar kertas 70 gram saja bisa menghemat 226,8 gram setara CO. Ikuti langkah Destia yang memilih membawa botol minuman sendiri ketimbang membeli air minum dalam kemasan karena pembuatan tiap botol air mineral menghasilkan emisi karbon 841,5 gram setara CO.

Lalu, berapa emisi karbon yang Anda hasilkan dalam keseharian Anda? Mudah saja, buka situs http://www.iesr-indonesia.org, lalu klik ikon ”Kalkulator Jejak Karbon” di bagian kanan halaman situs itu. Hitunglah sendiri berapa jejak karbon dalam kehidupan sehari-hari dan rencanakan pengurangan emisi karbon Anda hari ini juga.

”Kalau kita mau memerhatikan, pengurangan emisi karbon di rumah kita sebenarnya adalah penghematan yang nantinya akan mengurangi biaya rutin bulanan kita. Tetapi, lebih daripada hitungan ekonomi, ternyata berhemat juga mengurangi beban pencemaran bumi atas emisi karbon,” kata Musfarayani. (ROW)

Wow, Ilmuwan Temukan Arus 40 Kali Amazon

Beberapa ilmuwan menemukan arus samudra dalam yang bergerak cepat dengan volume 40 kali Sungai Amazon di dekat Kutub Selatan, yang akan membantu para peneliti memantau dampak perubahan iklim di samudra di dunia.

Satu tim ilmuwan Australia dan Jepang, dalam satu studi yang disiarkan di dalam jurnal Nature Geoscience, Minggu (25/4/2010), mendapati, arus tersebut bagian penting pola sirkulasi samudra global yang membantu memantau iklim planet.

Para ilmuwan sebelumnya telah mendeteksi bukti mengenai arus tersebut tapi tak memiliki data mengenai itu.

"Kami tidak mengetahui apakah itu adalah bagian sirkulasi penting atau tidak dan ini memperlihatkan secara jelas bahwa itu adalah bagian sirkulasi," kata seorang penulis studi tersebut, Steve Rintoul, kepada koresponden Reuters mengenai perubahan iklim David Fogarty.

Rintoul, dari Antarctic Climate and Ecosystems Cooperative Research Center di Hobart, mengatakan, itu terbukti merupakan arus samudra dalam yang paling cepat yang pernah ditemukan, dengan kecepatan rata-rata 20 sentimeter. Arus tersebut juga ditemukan membawa lebih dari 12 juta meter kubik air garam yang sangat dingin per detik dari Antartika.

"Pada kedalaman tiga kilometer di bawah permukaan air ini, ini adalah kecepatan paling kuat yang pernah dicatat dan kami saksikan sejauh ini. Ini benar-benar mengejutkan kami," katanya.

Dia mengatakan, arus itu membawa air yang kaya akan oksigen yang tenggelam jauh di Kutub Selatan ke lembah sungai samudra dalam lebih ke utara di sekitar Dataran Tinggi Kerguelen di bagian selatan Samudra Hindia lalu bercabang ke luar.

Sabuk pengantar global

Arus itu membentuk bagian dari jaringan kerja yang jauh lebih besar yang merentang semua samudra di dunia, dan bertindak seperti sabuk pengantar raksasa untuk membagikan panas ke seluruh dunia.

Samudra juga adalah tempat penyimpanan utama karbon dioksida, gas rumah kaca utama yang tersiar secara alamiah dan oleh ulah manusia, terutama dari pembakaran bahan bakar fosil.

Contohnya, Arus Teluk membawa air hangat ke Atlantik Utara, dan memberi Eropa utara iklim yang relatif sedang. Kegagalan arus tersebut, yang telah terjadi pada waktu lalu, akan menceburkan banyak bagian Eropa ke dalam kebekuan parah, kata para ilmuwan.

"Arus dalam itu bersama dengan Dataran Tinggi Kerguelen adalah bagian dari sistem arus samudra global yang disebut sirkulasi berbalik, yang menentukan seberapa banyak panas dan karbon yang dapat diisap oleh samudra," kata Rintoul.

Satu bagian penting sirkulasi itu adalah pembentukan sangat banyak volume air garam yang sangat dingin di beberapa daerah di sepanjang pantai Antartika yang kemudian tenggelam ke dasar dan mengalir ke lembah lain samudra.

Tim tersebut menggelar peralatan pengukur yang dilabuhkan ke dasar laut pada kedalaman sampai 4,5 kilometer dan mencatat kandungan garam, temperatur dan kecepataan arus selama dua tahun.

"Pengukuran terus-menerus yang diberikan oleh penambatan itu memungkinkan kami, untuk pertama kali, menentukan seberapa banyak air yang dibawa oleh arus dalam tersebut ke utara," kata Rintoul.

Dia mengatakan, masalah penting untuk meramalkan iklim ialah apakah sirkulasi berbalik akan terus bertahan pada kekuatannya saat ini atau apakah arus itu peka terhadap perubahan seperti perubahan iklim.

Itu berarti pengukuran peningkatan lebih lanjut mengenai kecepatan dan volume air garam yang dingin yang tercipta di sekitar Antartika.